PILIHAN HUKUM
Pilihan hukum adalah para pihak dalam
suatu kontrak bebas untuk melakukan pilihan, mereka dapat memilih sendiri hukum
mana yang harus dipakai untuk kontrak mereka. Karena adanya kebebasan dalam
memilih pilihan hukum tetapi dalam memilih pilihan hukum memiliki beberapa
batasan (restrictions) yang dikembangkan dalam HPI untuk menetapkan validitasi
suatu pilihan hukum, antara lain:
1) Jika pilhan hukum dimaksudkan hanya
untuk membentu atau menfsirkan persyaratan-persyaratan dalam kontrak, kebebasan
pasa pihak pada dasarnya tidak dibatasi.
2) Pilihan hukum tidak boleh melanggar
public policy atau public order (ketertiban umum) dari sistem-sistem hukum yang
mempunyai kaitan yang nyata dan substansi terhadap kontrak.
Scoles dan hays berpendapat bahwa :
Commentators and courts generally agree that, at some point, a state
other than that chosen by the parties can assert its public policy and void the
stipulation.
Dari pernyataan tersebut
tersirat pengertian bahwa forum tidak dapat begitu saja membatalkan suatu
kalusula pilihan hukum hanya dengan alasan bahwa hukum yang dipilih para pihak
berbeda dengan lex fori. Kewenangan semacam itu baru terbit apabila perbedaan
tersebut sudah menyentuh aspek ketertiban umum dari forum atau dari sistem
hukum lain yang mempunyai kaitan signifikan dengan kontrak.
3) Pilihan hukum hanya dapat dilakukan
ke arah suatu sistem hukum yang berkaitan secara substansial dengan kontak.
Faktor-faktornya misalnya : tempat pembuatan kontrak, tempat pelaksanaan
kontrak, domisili atau kewarganegaraan para pihak, tempat pendirian atau pusat
administrasi badan hukum.
4) Pilihan hukum tidak boleh dimaksud
atau bagian tertentu dari kontrak mereka pada suatu sistem hukum asing, sekedar
untuk menghindarkan diri dari suatu kaidah hukum yang memaksa dari sistem hukum
yang seharusnya berlaku seandainya tidak ada pilihan hukum. Pilihan hukum
seperti ini dapat dianggap sebagai pilihan hukum yang tidak bona fide atau
dianggap sebagai penyelundupan hukum.
5) Pilihan hukum hanya dapat dilakukan
untuk mengatur hak dan kewajiban yang timbul dari kontrak dan tidak untuk
mengatur masalah validitas pembentukan perikatan/perjanjian.
6) Pilihan hukum ke arah suatu sistem
hukum tertentu harus dipahami sebagai suatu “sachnormverweisung”, dalam arti
pemilihan ke arah kaidah hukum intern dari sistem hukum yang bersangkutan dan
tidak mengarah kepada kaidah-kaidah HPI-nya.
7) Kewajiban untuk melakukan pilihan
hukum pada saat kontrak ditutup (ada beberapa negara dan konvensi internasional
yang tidak memberlakukan larangan ini).
8) Larangan melakukan pilihan hukum ke
arah sistem hukum yang sama sekali tidak memiliki kaitan nyata dengan kontrak
atau transaksi yang dibuat oleh para pihak (ada negara yang tidak memberlakukan
larangan ini)
9) Kewajiban untuk melakukan pilihan
hukum ke arah sistem hukum nasional suatu negara tertentu atau arah
konvesi-konvensi internasional dan tidak ke arah kaidah-kaidah transnasional
atau prinsip-prinsip dalam perdagangan internasional[1].
10) Pilihan hukum harus jelas diarahkan
pada suatu sistem hukum nasional tertentu. Pilihan hukum yang tidak bermakna
tidak dapat diakui sebagai pilihan hukum yang sah.
A. Macam-macam pilihan hukum
Ada 4 macam pilihan hukum, yaitu :
a) Pilihan hukum secara tegas
Di dalam klausula-klausula
kontrak-kontrak tertentu dapat kita saksikan adanya pilihan hukum secara tegas ini. Dalam
klausula-klausula dalam kontrak joint venture, management contract atau
technical assistant contract, dimana dinyatakan:
“this contract will be governed by the laws of the Republic of Indonesia”
Contoh dalam kontrak-kontrak asuransi
laut untuk perdagangan internasional, sering kali ditunjuk kepada English
Insurance Act 1906 dan syarat-syarat serta kebiasaan-kebiasaan dari polis-polis
Lloyd Inggris.
b) Pilihan hukum secara diam-diam
Pilihan hukum ini dapat disimpulkan
maksud para pihak ini mengenai hukum yang mereka kehendaki, dari sikap mereka
dari isi dan bentuk perjanjian. Keberatan terhadap pilihan hukum secara
diam-diam ini adalah jika hakim hendak melihat adanya suatu pilihan yang
sebenarnya tidak ada. Hakim hanya menekankan kepada kemauan para pihak yang
diduga dan yang dikedepankankan adalah kemauan para pihak yang fiktip.[2]
c) Pilihan hukum yang dianggap
Pilihan hukum yang secara dianggap
ini hanya merupakan apakah dalam istilah hukum dianggap “preasumptio iuris”,
suatu “rechtsvermoeden”. Hakim hanya menerima telah terjadi suatu pilihan hukum
berdasarkan dugaan-dugaan hukum belaka.
d) Pilihan hukum secara hypothetisch
Pilihan hukum secara hypothetisch ini
dikenal di Jerman. Sebenarnya tidak ada suatu kemauan dari para pihak untuk
memilih sedikitpun. Hakimlah yang melakukan pilihan ini. Hakim bekerja dengan
suatu fictie. Seandainya para pihak telah memikir akan huku yang harus
diperlakukan hukum manakah yang telah dipilih oleh mereka secara
sebaik-baiknya. Jadi sebenarnya ini adalah suatu pilihan buka daripada para
pihak melainkan hakim itu sendiri.
Dalam memilih pilhan hukum dapat memilih lebih dari 1 sistem
hukum, dengan cara:
1) Pembagian yang dimufakati
Para pihak dapat mufakaati bahwa
diadakan pembagian dari pada kontrak mereka dan hukum yang harus diperlakukan
untuk bagian-bagian tertentu.
2) Pilihan hukum alternatif
Para pihak dapat menentukan bahwa dua
atau lebih sistem hukum secara alternatif berlaku untuk perjanjiaan mereka.
Misalnya menentukan bahwa hukum domisili dari pihak kesatu atau pihak lain yang
berlaku hingga tergugat dapat mempergunakan hukum tempat domisili. [3]
3) Pilihan hukum selektif
Para pihak dapat menentukan bahwa
suatu sistem hukum “komplex” adalah yang berlaku. Misalnya jika antara pedagang
Indonesia dan pedagang Jepang ditentukan “ hukum Indonesia” yang berlaku. Hukum
Indonesia ini bersifat komplex bahkan multi komplex.
Pilihan hukum dapat dirubah setelah ditutupnya perjanjian, jika bila pilihan hukum itu berubah
maka seluruh perubahan inipun termasuk dalam pilihan. Karena hukum bukan
sesuatu yang statis tetapi selalu hidup dan berkemang adanya.[4]
B. The proper law of contract
Konsep the proper law of contract ini
sebenarnya bertitik tolak dari anggapan dasar bahwa setiap aspek dari sebuah
kontrak dari sebuah kontrak pasti terbentuk berdasarkan sistem hukum walaupun
tidak tertutup kemungkinan bahwa aspek dari suatu kontrak diatur oleh sistem
hukum yang berbeda.
Asas-asas tentang penentuan “The proper law of contract”
Titik taut sekunder menjadi indikator
untuk menentuka the proper law of contract
a) Asas lex loci contractus
Berdasarkan asas ini “the proper of
contract” adalah hukum dari tempat pembuatan kontrak. Tempat dimana
dilaksanakannya tindakan terakhir yang dibutuhkan untuk terbentuknya
kesepakatan.
b) Asas lex loci solutionis
Asas lex loci solutionis adalah hukum
dari tempat pelaksanaan perjanjian. Asas ini mengangap bahwa” the proper law of
contract” adalah lex loci solutionis ini sebenarnya merupakan variasi dari
penerapan locus regid actum. Dalam perkembangannya ternyata asa lex loci
sulotionis tidak selalu memberikan jalan keluar yang memuaskan. Karena itu
dalam praktek, tidak ditutup kemungkinan untuk menundukan bagian-bagian kontrak
pada sistem hukum yang berbeda, tetapi hal semacam itu tampaknya akan
menyulitkan pengadilan untuk menyelesaikan perkara.
c) Asas kebebasan para pihak
Asas ini sebenarnya merupakan
perkembangan apresiasi terhadap asas utama dalam hukum perjanjian, yaitu setiap
orang pada dasarnya memiliki kebebasan untuki mengikatkan diri pada
perjanjian”.
[1] Bayu
seto hardjowahono, The Unification of Private International Law on
International Commersial Contract within the regional legal system of ASEAN , h
87 dst.
[2] Bdgk.
Hijmans, 169: Kisch, prasaran Handelingen N.J.V (1947, 167.
[3] Niederer
tidak menyetujuinya. Perjanjian yang sekaligus dapat takluk bahwa lebih dari
satu sistem hukum, hal 198.
[4] Reczei,
Frgen IPR, hal 167
Batiffol, Contrats, halaman 68. Berlainan Niboret,
couts d.i.p, halamn 599.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar