CONTOH KASUS HUKUM PERDATA
INTERNASIONAL
1. Kasus
kualifikasi
Kasus IPB
dan Amerika serikat
Fakta
IPB
melakukan perjanjian untuk mengirim 800 kera ke Amerika, Kera tersebut hanya
akan diambil anaknya saja dan babonnya akan dikembalikan ke Indonesia. Harga perekor
disepakati sebesar 80 (delapan puluh) juta dan pihak amerika serikat hanya
membutuhkan anaknya saja dan harus beranak di Amerika serikat. Ketika posisi
pesawat masih di swiss, seekor monyet stress dan lepas,melahirkan anaknya.
Karena induknya telah dilumpuhkan dan mati, maka dokter hewan IPB menyuntik
mati anak monyet tersebut karena pertimbangan rasa kasihan . Lawyer Amerika
serikat menuntut IPB atas dasar perlindungan satwa dan dianggap tak memenuhi
prestasi dengan sempurna serta membunuh seekor anak monyet. Disati sisi, Kera
di Indonesia tidak lebih sebagai hama, sedangkan bagi Amerika serikat merupakan
satwa yang harus mendapat perlindungan.
Jawab
1) Forum
yang berwenang
Ø Pengadilan
mana yang berwenang mengadili kasus ini? Yaitu pengadilan bogor karena sesuai
dengan prinsip actor sequitor forum rei yaitu gugatan diajukan ke pengadilan,
tempat dimana tergugat bertempat tinggal. Karena tergugat (IPB) bertenpat
tinggal di Bogor, maka forum yang berwenang harus di tempat tinggal tergugat
Ø Titik
taut primer adalah factor-faktor/keadaan yang menciptakan hubungan HPI dalam
kasus ini yang merupakan titik taut primer harus dilihat/ditinjau dari
pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa ini. Menurut pandangan PN
bogor perkara ini adalah perkara HPI karena ada unsure asingnya yaitu pihak
penggugat berkewarganegaraan Amerika.
Kasus ini termasuk kualifikasi hukum
perjanjian dan perbuatan melawan hukum.
Ø Kualifikasi
hukum perjanjian karena mengenai wanprestasi dari pihak IPB (jumlah kera yang
dikirim menjadi berkurang satu adalah yang seharusnya 800 ekor kera.)
Ø Kualifikasi
perbuatan melawan hukum, karena pihak IPB menyuntik anak monyet sampai mati,
kera menurut amerika serikat merupakan satwa yang harus/mendpat perlindungan.
Sehingga perbuatan IPB menyuntik mati anak kera diklasifikasikan sebagai
perbuatan melawan hukum.
2) Titik taut sekunder yaitu titik
taut/factor-faktor/keadaan-keadaan yang menentukan hukummana yang harus
diberlakukan
Ø Dalam
kasus ini, titik taut sekunder untuk klasifikasi perjanjian karena dalam
perjanjian yang dibuat oleh IPB dengan amerika serikat tidak ada pilihan hokum
maupun pilihan forum, maka yang menjadi titik taut sekundernya bisa ada
beberapa antara lain
Ø Lex
loci contractus
Ø Lex
loci solusionis
Ø The
proper law of the contract , Digunakan untuk mengedepankan apa yang dinamakan
“intention of the parties” hokum yang ingin diberlakukan untuk perjanjian
tersebut karena dikehendaki oleh para pihak ybs. Hukum yang dikehendaki itu
bisa dinyatakan secara tegas yaitu dicantumkan dalam perjanjian, bisa pula
tidak dinyatakan secara tegas
Ø apabila
ditegaskan keinginan para pihak,maka hukum yang diberlakukan adalah yang
ditegaskan
Ø apabila
tidak ditegaskan,maka harus disimpulkan oleh pengadilan dengan melihat pada isi
perjanjian, bentuknya unsure-unsur perjanjian maupun
kejadian-kejadian/peristiwa-peristiwa disekelilingnya yang relevan dengan
perjanjian tersebut.
Ø The most characteristic connection adalah
untuk menentukan hokum mana yang berlaku adalah hokum dari Negara dengan mana
kontrak bersangkutan mempunyai prestasi yang paling kuat
3) LEX
CAUSE hukum yang dipakai untuk
menyelesaikan perkara
Ø Apabila
perjanjian dibuat di Indonesia maka berdasarkan lex loci contractus, maka hokum
Indonesia yang dipakai. Tetapi kalau perjanjian dibuat di Amerika serikat, maka
hokum amerika serikat yang dipakai.
Ø Berdasarkan
lex loci solusionis. Apabila isi perjanjian dilaksanakan di Indonesia, maka
hokum Indonesia yang dipakai, apabila isi perjanjian dilaksanakan di Amerika
serikat,maka hokum AS yang dipakai.
Ø Berdasarkan
the most characteristic connection, aka hokum yang berlaku adalah Hukum
Indonesia karena yang melakukan prestasi paling kuat/paling dominan adalah IPB
sebagai penjual kera, karena IPB yang harus menyerahkan kera,merawat dan
menjaga kera dengan baik sampai nanti kera diserahkan kepada pihak amerika
serikat.
2. Kasus
Ketertiban Umum
Kasus E.D.
&F. Man Sugar Ltd v. Yani Haryanto
Pertama, Mahkamah
Agung untuk pertama kalinya memberikan eksekutur terhadap putusan arbitrase
asing sejak MA mengeluarkan PERMA 1/1990. Kedua, dalam waktu yang tidak terlalu
lama penetapan MA tentang pemberian eksekuatur itu kemudian dibatalkan sendiri
melalui putusan kasasi. Kasus ini dikenal dengan sebutan “Kasus Gula” karena
objek sengketa tersebut memang mengenai jual beli gula.Selengkapnya rangkaian
perjalanan permohonan eksekusi putusan arbitrase London dalam perkara antara
E.D. & F.MAN (SUGAR)Ltd., melawan Yani Haryanto, dapat disimak berikut
ini.Pada tahun 1982 pengusaha Indonesia Yani Haryanto bertindak sebagai pembeli
mengadakan perjanjian jual beli gula denganeksportir Inggris E.D. & F, Man
Sugar Ltd. Sugar quay London, sebagai penjual. Perjanjian tersebut dituangkan
dalam dua bentuk kontrak dagang, yaitu:
1) Contract
for White Sugar No. 7458, tanggal 12 Februari 1982.
untuk jual beli gula sebanyak 300.000 metrik
ton;
2) Contract for White Sugar No. 7527, tanggal 23
Maret 1982untuk jual beli gula sebanyak 100.000 metrik ton.
Kedua
kontrak tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak pada bulan Februari dan
Maret 1982. Dalam kedua kontrak di atas parapihak bersepakat bahwa segala
sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian jual beli gula ini, kedua
belah pihak sepakat diselesaikan oleh suatu “Dewan Arbitrase Gula” atau yang
disebut “The Council of the Refened Sugar Association” yang berkedudukan di
London berdasarkan ketentuan dalam The Rules of the Refened – Sugar Association
Relating to Arbitration.
3. Kasus
Penyelundupan Hukum
Kasus Eddy
Maliq Meijer lahir pada April 2007 merupakan anak dari perkawinan campuran dari
ayahnya Frederik J Meijer yang berkewarganegaraan Belanda dan ibunya Maudy
Koesnaedi yang warga Negara Indonesia juga merupakan subjek hukum.
Dalam kasus
Eddy, terjadi perkawinan campuran antara ayahnya Warga Negara Belanda dan
ibunya Warga Negara Indonesia. Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang
perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa
kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan
keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan
tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin
memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang
ditentukan bagi WNA biasa. Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia
bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena
berbagai factor, antara lain : faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan
pendidikan,dll maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup terpisah .
Pengaturan di Indonesia Menurut UU No.62 tahun 1958 Indonesia menganut asas
kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai
pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 : “Anak yang belum berumur 18 tahun dan
belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum
ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh
kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di
Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu
tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh
kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.” Dalam
ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa
menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing . Dalam kasus
Eddy yang telahir dari hasil perkawinan campuran ibunya Warga Negara Indonesia
dan Ayahnya Warga Negara Belanda, anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai
warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya,
dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus
diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian
antara orang tua Eddy, akan sulit bagi Maudy sebagai ibu untuk mengasuh
anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang
ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang
masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal
ini sulit dilakukan. Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62
Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya
kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum
dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan
ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia
18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang apabila anak tersebut tidak memiliki
hubungan hukum dengan ayahnya. Di dalam Undang-Undang kewarganegaraan yang baru
memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang
dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut: Asas ius sanguinis (law of the
blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan
keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
a.
Asas ius soli (law of the soil) secara
terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan
negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
b.
Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang
menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
c.
Asas kewarganegaraan ganda terbatas
adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Undang-Undang ini pada dasarnya
tidak mengenal kewarganegaraan ganda ataupun tanpa kewarganegaraan.
Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini
merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka
hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu apabila anak tersebut tidak punya
hubungan hukum dengan ayahnya tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan
anak menjadi hilang Berdasarkan UU ini Eddy yang merupakan anak yang lahir dari
perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA diakui sebagai warga negara
Indonesia. Eddy akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah dia berusia 18
tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk
memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak
berusia 18 tahun atau setelah kawin. Namun pemberian kewaranegaraan ini akan
menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki
kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi, dalam kasus ini
antara Indonesia dan Belanda. ANALISIS. Pengaturan baru. Pengaturan status
hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia memberi peraturan baru yang positif karena
secara garis besar Undang-undang baru ini memperbolehkan dwi kewarganegaraan
yang terbatas dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dari perkawinan
campuran. Permasalahannya adalah menyangkut dwi kwarganegaraan pada anak, jika
nantinya anak menganut terus dwi kewarganegaraanya maka harus ada penyelundupan
hukum jika anak tersangkut suatu kasus pada suatu negara. Dan apakah ketika
anak mendapatkan permasalahan hukum nantinya ada perlindungan dari negara
dimana ia tinggal, karena menyangkut mengenai dwi kewarganegaraan.
TUGAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
RANGKUMAN KULIAH
DISUSUN OLEH :
NAMA : YUNI DAMAYANTI
NIM : 01012485
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar