KUALIFIKASI
A.
Istilah-istilah
Istilah-istilah untuk kwalifikasi
adalah “qualification” (Prancis)[1],
“qualification”, “classification”[2]),
“characterization” (Inggris). [3])
Istilah jerman :”Qualifikation”, [4])
“charakterisierung”, “latente Gesetzeskonflikten” istilah Belanda :
“Qualificate” [5]).
B.
Pengertian dan Problematika
Kualifikasi Fakta/ Hukum dalam HPI
Kualifikasi adalah bagian dari proses
yang hampir pasti dilalui karena dengan kualifikasi, orang mencoba untuk menata
sekumpulan fakta yang dihadapinya (sebagai persoalan hukum),
mendenifikasikannya dan kemudian menempatkannya kedalam suatu katagori yuridik
tertentu. Ada dua jenis kualifikasi, yaitu :
- Kualifikasi fakta (classification of facts)
Yaitu proses kualifkasi yang
dilakukan terhadap sekumpulan fakta yang dihadapi dalam sebuah peristiwa hukum
(atau perkara) untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa atau masalah
hukum (legal issue), sesuai dengan sistem klasifikasi kaidah-kaidah hukum yang
berlaku didalam suatu sistem hukum tertentu.
- Kualifikasi hukum ( legal classification )
Yaitu penetapan tentang penggolongna/
pembagian seluruh kaidah hukum di dalam suatu hukum ke dalam pembidangan,
pengelompokan atau katagori hukum tertentu.
(1) Persetujuan orang tua untuk menikah
Juga mengenai masalah persetujuan
pihak orang tua untuk menikah yang seperti kita ketahui dalam B.W. Disyaratkan
bagi tiap orang sebelum berumur 30 tahun timbul persoalan kualifikasi. Apakah
ini termasuk bentuk dari “perbuatan hukum” atau harus dianggap sebagai termasuk
bidang “ substantive conditions of marrige”, seperti misalnya Code Civil
Perancis, atau B.W .Indonesia. Jika termasuk capacity, maka pasal 16 AB lah
yang menentukan status personil ini. Apabila dianggap “form” maka pasal 18 AB
dengan asas “ Locus regit actum” yang berlaku.
(2) Masalah penentuan Locus contractus
Dalam hukum kontrak Internasional
pernah dikemukakan sebagai TPS (titik pertalian sekunder),azas lex loci
contractus. Tempat dimana kontrak dilangsungkan atau dibuat, ditutup adalh yang
berlaku hukumnya. Dalam hak terdapat perbedaan kualifikasi. Ada sistem –sistem
HPI yang meletakkan titik berat dimana dikirimkan penerima penawaran.
(3) Mengenai benda bergerak atau tidak
bergerak
Apakah sesuatu benda seperti misalnya
mesin-mesin dari suatu pabrik, meubilair dari suatu hotel dan sebagainya
dianggap sebagai benda tidak bergerak. Kualifikasinya berlainan dalam
sistem-sistem berbagai negara.
Harta benda perkawinan atau pewarisan
Perbedaan paham mengenai kualifikasi
‘hukum harta benda perkawinan’ atau hukum warisan
Proses kualifikasi fakta ini mencakup
langkah-langkah sebagai berikut:
1) Kualifikasi sekumpulan fakta dalam perkara dan mendefinikasikan peristiwa hukum yang dihadapi itu berdasarkan dan ke dalam kategori/klasifikasi hukum yang sudah ada dalam sistem hukum tertentu [6].
Melalui serangkaian upaya
menilai dan menyistematisasi sekumpulan fakta yang dihadapi dalam perkara,
orang kemudian mencoba mendeskripsikan atau medenifisikan peristiwa yang
dihadapinya sebagai satu atau beberapa peristiwa hukum tertentu.
2) Kualifikasi sekumpulan fakta yang
telah dikualifikasikan tadi dalam kaidah-kaidah hukum yang dianggap harus
berlaku ( The Applicable Law )
Beberapa hal yang menyebabkan
rumitnya persoalan kualifikasi HPI adalah: [7]
1) Pelbagai sistem hukum menggunakan
termonologi hukum yang sama atau serupa, tetapi untuk menyatakan hal yang
berebeda
2) Pelbagai sistem hukum mengenal
konsep/lembaga hukum tertentu yang ternyata tidak dikenal dalam sistem hukum
lain
3) Pelbagai sistem hukum menyelesaikan
perkara-perkara hukum yang secara faktual sama, tetapi dengan menetapkan
katagori yuridik yang berlainan
4) Pelbagai sistem hukum mensyaratkan
sekumpulan fakta yang berbeda-beda untuk menetapkan adanya suatu peristiwa
hukum yang pada dasarnya sama
5) Pelbagai sistem hukum menempuh
proses/prosedur yang berbeda-beda untuk mewujudkan atau menerbitkan hasil atau
status hukum yang pada dasarnya sama.
Kasus Anton vs Bartolo (The Maltase
Marriage Case-1889)
Pokok perkara
1) Sepasang suami istri warga negra
Inggris bedomisili di Malta (jajahan Inggris) dan melangsungkan pernikahan
mereka di Malta
2) Setelah pernikahan, mereka pindah
tetap dan berdomisili di Aljazair (jajahan Prancis) dan memperoleh
lewarganegaraan Prancis
3) Semasa hidupnya di Prancis, sumi
membeli sebidang tanah produktif di Prancis
4) Suami meninggal dunia dan setelah itu
istrinya menuntut ¼ bagian dari hasil produksi tanah
5) Perkara diajukan di pengadilan
Prancis (Aljazair)
Beberapa titik tau (connecting
factors) yang tampak diantara sekumpulan fakta diatas menunjukkan bahwa:
1) Inggris (Malta) adalah locus
celebrationis[8] sehinga
hukum Inggris relevan terhadap kasus ini lex loci celebrationis.
2) Prancis (Aljazair) adalah domicilli
setelah perkawinan (matrimonial domicile), kewarganegaraan setelah mereka
pindah, situs dimana benda (tanah) terletak, dan tempat perkara diajukan. Oleh
karena itu, hukum Prancis relevan terhadap perkara ini, secara berurutan,
sebagai lex domicilli matrimonium, lex patriae, lex situs dan lex fori.
Proses perkara penyelesaian
·
Perkara
adalah perkara HPI karena adanya unsur asing antara fakta-fakta perkara dan
karena itu hakim harus menetapkan hukum apa yang harus diberlakukan (lex cause)
·
Hakim
melihat, baik dalam hukum Inggris maupun hukum Prancis adanya dua kaidah HPI
yang pada dasarnya sama, yaitu bahwa :
§ Masalah pewarisan tanah harus tunduk
pada hukum dimana tanah terletak, bedasarkan asas lex rei sitae.
§ Masalah tuntutan janda atas
hak-haknya terhadap harta perkawinan (matrimonial right) harus diatur oleh
hukum dimana para pihak berdomisili pada saat perkawinan diresmikan (lex loci celebrationis)/
Persoalan bagi hakim :
1) Sekumpulan fakta seperti dalam kasus
ini, bagi hukum Prancis (lex fori) harus dikualifikasikan sebagai masalah
pewarisan tanah, sedangkan
2) Bedasarkan hukum Inggris (lex loci
celebrationis) perkara semacam ini dikualifikasikan sebagai perkara hak-hak
janda atas harta perkawinan (matrimonial right)
3) Persoalan kualifikasi berdasarkan
hukum Prancis (lex fori) atau berdasark hukum Inggris (hukum asing) akan
membawa pengarus terhadap proses penyelesaian sengketa sebab hakim menyadari
bahwa:
a. Jika perkara dikualifikasikan sebagai
perkara pewarisan tanah (berdasarkan lex fori), kaidah HPI Prancis akan akan
menunjukkan kearah hukum intern Prancis sebagai lex cause dan tuntutan akan
ditolak sebab berdasarkan hukum Prancis, seorang janda tidak berhak mendapatkan
bagian dari harta warisan.
b. Jika perkara dikualifikasikan sebagai
perkara matrimonial right (berdasarkan hukum Inggris), kaidah hukum Prancis
akan menunjuk ke arah itern Inggris sebagai lex cause, dan berdasarkan hukum
Inggris, tuntutn janda akan dikabulkan sebab berdasarkan hukum itern Inggris
seorang janda memiliki hak atas hasil tanah itu sebagai dari harta perkawinan.
Pengadilan Prancis akhirnya
menetapkan bahwa perkara dikualifikasikan sebagai masalah harta perkawinan dan
memutuskan perkara berdasarkan lex loci celebrationis (hukum Inggris) serta
mengabulkan tuntutan janda.
C.
Macam-macam kualifikasi
1. Kwalifikasi menurut lex fori
Menurut pendirian ini kualifikasi
harus dilakukan menurut hukum materiil sang hakim. Pengertian-pengertian yang
dihadapi dalam kaidah-kaidah HPI harus dikwalifikasikan menurut sistem hukum
negara asing hakim sendiri. Tokoh-tokohnya adalah Franz Kahn (Jerman) dan
Bartin (Prancis).
Franz kahn lebih lanjut menyatakan
bahwa kualifikasi harus dilakukan berdasarkan lex fori karena ada alasan-alasan
:
a. Kesederhanaan ( simplycity)
Kesederhanaan ( simplycity) sebab
jika kualifikasi dilakukan dengan menggunakan lex fori, pengertian, batasan dan
konsep-konsep hukum yang digunakan dalam penyelesaian perkara adalah
pengertian-pengertian yang paling dikenal oleh hakim.
b. Kepastian (certainty)
Kepastian (certainty) sebab
pihak-pihak yang berperkara akan telah mengetahui terlebih dahulu sebagai
peristiwa atau hubungan hukum apakah perkaera mereka akan dikualifikasikan oleh
hakim beserta segala kosekuensi yuriknya.
Teori kualifikasi lex fori dianggap memiliki keunggulan karena dapat menyebabkan perkara lebih mudah diselesaikan, mengingat digunakannya konsep-konsep hukum lex fori yang paling dikenal oleh hakim. Dilain pihak kelemahan teori ini adalah kemungkinan terjadinya ketidakadilan kerena kualifikasi adakalanya dijalankan dengan menggunakan ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai dengan sistem hukum asing seharusnya diberlakukan atau bahkan dengan menggunakan ukuran-ukuran yang tidak dikenal sama sekali oleh sistem hukum tersebut.
Teori kualifikasi lex fori dianggap memiliki keunggulan karena dapat menyebabkan perkara lebih mudah diselesaikan, mengingat digunakannya konsep-konsep hukum lex fori yang paling dikenal oleh hakim. Dilain pihak kelemahan teori ini adalah kemungkinan terjadinya ketidakadilan kerena kualifikasi adakalanya dijalankan dengan menggunakan ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai dengan sistem hukum asing seharusnya diberlakukan atau bahkan dengan menggunakan ukuran-ukuran yang tidak dikenal sama sekali oleh sistem hukum tersebut.
Contoh kasus dalam kualifikasi lex fori : ogden vs Ogden
(1908)
Kasus posisi
a. Philip, pria warga negara Prancis,
berdomisili di Prancis, dan berusian 19 tahun.
b. Philip menikah dengan sarah (wanita)
yang berwarganegaraan Inggris
c. Pernikahan Philip dan Sarah
dilangsungkan dan diresmikan di Inggris (tahun 1898)
d. Philip menikah dengan Sarah tanpa
izin orang tua Philip. Izin orang tua ini diwajibkan oleh hukum Prancis ( Pasal
148 Code civil)
e. Pada tahun 1901 Philip pulang ke
Prancis dan mengajukan permohonan dipengadilan Prancis untuk pembatalan
perkawinannya dengan Sarah dengan alasan bahwa perkawinan itu dilangsungkan
tanpa izin orang tua
f.
Permohonan
dikabulkan oleh pengadilan Prancis dan Philip kemudian menikah dengan seorang
wanita Prancis di Prancis
g. Sarah kemudian menggugat Philip di
Inggris karena Philip dianggap melakukan perzinaan dan meninggalkan istrinya
terlantar. Gugatan itu ditolak karena alasan yuridiksi
h. Pada tahun 1904, Sarah sudah merasa
tidak terikat dalam perkawinan denga Philip, kemudian menikah kembali dengan
Odgen dilangsungkan di Inggris.
i.
Pada
tahun 1906 Odgen menggangap bahwa Sarah masih terikat dengan perkawinan dengan
Philip karena berdasarkan hukum Inggris perkawinan Philip dan Sarah belum
dianggap batal karena keputusan pengadilan Prancis tidak diakui di Inggris
j.
Odgen
kemudian mengajukan pembatalan perkawinan dengan Sarah, dengan dasar hukum
bahwa istrinya telah berpoligami
k. Permohoan diajukan di pengadiolan
Inggris
Proses penyelesaian sengketa
1) Untuk menerima atau menolak Odgen,
maka hakim harus menentukan terlebih
dahulu apakah perkawinan Philip dengan Sarah adalah sah atau tidak. Dalam hal
titik-titik tau menunjuk ke arah hukum Inggris sebagai hukum dari tempat
peresmian perkawinan dah hukum Prancis karena salah satu pihak (Philip) adalah
pihak yang berdomisili di Prancis
2) Pokok perkaranya mengenai izin orang
tua sebagai persyaratan perkawnan terutama dalam menetapkan apakah Philip
memang memiliki kemampuan hukum untuk menikah.
3) Kaidah HPI Inggris menetapkan
a. Persyaratan esential untuk sahnya
perkawinan, temasuk persoalan kemampuan hukum seseorang pria untuk menikah
harus daiatur dalam lex domicili ( menunjuk pada hukum Prancis)
b. Persayaratan formal untuk sahnya
perkawinan harus tunduk pada hukum dari tempat peresmian perkawinan 9lex leci
celebrationis). Jadi dalam halini menunjuk hukum Inggris
c. Karena hakim pertama-tama menunjuk
arah hukum Prancis sebagai lex cause, untuk menentukan kemampuan hukum A untuk menikah, pada tahap ini
didasari bahwa berdasarkan Pasal 148 Code civil Prancis dapat disimpulkan
laki-laki yang belum berusian 25 tahun tidak dapat menikah, apabila tidak
diizinkan oleh orangtuanya. Dengan demikian berdasarkan hukum intern Prancis,
tidak adanya izin orang tua harus menyebabkan batalnya perkawinan antara Philip
dan Sarah.
4) Dalam kenyataan, hukum Inggris memutus
perkara dengan cara berpikir sebagai berikut:
a. Perkawinan antara Philip dan Sarah
dinyatakan tetap sah karena “izin orang tua” dikualifikasikan berdasarkan hukum
Inggris (lex fori).
b. Berdasarkan penyimpulan diatas,
perkawinan antara Sarah dan Odgen dianggap tidak sah karena salah satu pihak
Sarah dianggap masih terikat perkaiwinan dengan Philip dan karena itu dianggap
poligami
c. Karena itu, permohonan Odgen kemudian
dikabulkan dan perkawinan Odgen dan Sarah dibatalkan oleh pengadilan Inggris
2. Teori kualifikasi lex causae (Lex
fori yang diperluas)
Kualifikasi dilakukan menurut sistem
hukum darimana pengertian ini berasal [9].
Menurut pandangan ini, jika seandainya dalam persoalan HPI, hakim negara X
tiba-tiba pada kesimpulan bahwa hukum Y yang harus diperlakukan, maka
kaidah-kaidah HPI dipersoalkan harus dikualifisir menurut huku Y. Yang
mengedepankan teori ini adalah Wolff. Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk
menentukan kaidah HPI mana dari lex fori yang paling erat kaitannya dengan
kaidah hukum asing yang mungkin diberlakukan. Penentuan ini harus dilakukan
dengan mendasarkan diri pada hasil kualifikasi yang dilakukan dengan
memerhatikan sistem hukum asing yang bersangkutan. Setelah katagori yuridik
dari suatu peristiwa hukum ditetapkan dengan cara itu, barulah dapat ditetapkan
kaidah HPI yang mana dari lex fori yang akan digunakan untuk menunjuk ke arah
lex cause.
Contoh kasus kualifikasi lex cause adalah De Nicols vs
Curlier
Kasus posisi
a. Kasus menyangkut sepasang suami istri
berkewarganegaraan Prancis
b. Pernikahan mereka diresmikan di
Prancis
c. Ketika pernikahan dilangsungkan pada
tahun 1854, kedua pihak ini tidak membuat perjanjian/kontrak harta perkawinan
d. Setelah pernikahan, mereka pindah ke
Inggris: suami meninggal dunia di Inggris dengan meninggalkan testamen yang
dibuat secara sah di Inggris
e. Isi testamen ternyata mengabaikan
semua hak istri ayas harta perkawinan
f.
Istri
kemudian mengajukan gugatan terhadap testamen dan menuntut haknya atas harta
bersama
g. Gugatan tersebut diajukan di
pengadilan Inggris
Jalannya proses penyelesaian perkara
a. Perkara dikualifikasikan sebagai
perkara tetang perwarisan testamen atau kontrak tentang harta perkawinan. Hakim
Inggris kemudian mengkualifikasikan perkara sebagai perkara tentang pewarisan
testamenter karena pada saat menikah, mereka tidak membuat kontrak mengenai
harta kekayaan mereka
b. Berdasarkan kaidah hkum intern
Inggris, status kepemilikan atas benda-benda bergerak sepasang suami istri
harus diatur dengan sebuah kontrak
c. Kaidah HPI Inggris menetapkan jika
kontrak semacam ini tidak ada, status kepemilikan ats benda-benda itu harus
diatur berdasarkan ex loci celebrationis
d. Karena kaidah HPI menunjuk ke arah
hukum Prancis (sebagai lex loci celebrationis), maka hakim melihak arah Code
civil Prancis.
Hakim kemudian menyimpulkan bahwa
tidak ada kontrak dibuat secara tegas
pada saat para pihak menikah di Prancis. Tidak adanya kontrak secara
tegas untuk berpisah harta, yang dibuat bedasarkan commuaute des biens
dikualifikasikan oleh hakim sebagai perjanjian diam-diam untuk bercampur harta.
Jadi hakim meluaskan konsep kontrak perkawinan yang dikenal dalam lex fori
dengan menggunakan konsep harta bersama yang dikenal dalam hukum asing
(Prancis).
3. Kualifikasi secara otonom
Kualifiaksi ini berdasarkan methodos
comparative (perbandingan hukum). Tokoh dari teori ini adalah Ernst Rabel
(Jerman) dan Beckett ( Inggris). Teori ini pada dasarnya bertitik tolak dari
penolakan mereka terhadap asumsi yang melatarbelakangi suatu kaidah HPI itu
hanya hukum intern dari forum. Menurut penganut teori ini, dalam tindakan
kualifikasi terhadap kumpulan fakta harus dilakukan secara terlepas dari
kaitannya pada suatu sistem hukum lokal/nasional tertentu (besifat otonom).
Artinya, dalam HPI seharusnya dikembangkan konsep-konsep (begrip) hukum yang
khas dan dapat berlaku secara umum serta mempunyai makna yang sama dimanapun di
dunia.
4.
Kualifikasi primer dan sekunder
1) Kwalifikasi secara primer
Kwalifikasi secara primer atau
“Qualifikation ersten Grades,[10])
(primary classification , qualificate in de eerste graad) adalah kualifikasi
yang diperlukan untuk dapat menentukan hukum yang harus dipergunakan. Untuk
dapat menentukan hukum asing manakah yang dipergunakan harus dilakukan
kualifiasi menurut kaidah-kaidah HPI dari lex fori. Kaidah-kaidah HPI dari lex
fori ini harus di kualifikasi menurut hukum materiil dari Hakim.
2) Kwalifikasi secara sekunder
Apabila sudah mengetaui hukum asing
manakah yang harus dipergunakan, maka perlu dilakukan kualifikasi lebih jauh
menurut hukum asing yang sudah dikemukan itu. Kwalifikasi semacam ini dinamakan
kualifikasi sekunder atau “ Qualikation zweten Grades” ( secondary
classification, secundaire qualificatie, qualificatie in de tweede graad). [11]).
Jika sudah ditentukan hukum asing manakah yang harus dipergunakan dalam hukum
inilah yang dipakai. Pengertian-pengertian hukum yang dipergunakan dalam hukum
asing itu harus ditafsirkan menurut pengertian-pengertian yang berlaku dalam
hukum asing bersangkutan. Jika tidak lagi lex fori sang hakim.
5.
Pengecualian- pengecualian terhadap
pemakaian kualifikasi lex fori
a. Kualifikasi kewarganegaraan tidak
dilakukan menurut hukum dari forum hakim.
b. Kualifikasi mengenai “bergerak atau
tidak bergerak” suatu benda ditentukan oleh “lex rei sitae” (lex situs)
c. Kualifikasi suatu kontrak menurut
“maksud para pihak “ bidang perjanjian, maka pihak-pihak adalah bebas
menentukan sendiri hukum yang mereka kehendaki.
d. Kualifikasi dari “perbuatan melanggar
hukum”
e. Jika ada persetujuan-persetujuan
antara negara” berupa konvensi-konvensi mengenai kaidah-kaidah HPI, maka pengertian-pengertian
dalam persetujuan-persetujuan internasional itu. Kualifikasi ini dilakukan
secara terlepas dari lex fori masing-masing negara peserta.
f.
Kualifikasi
pengertian-pengertian yang digunakan oleh makamah-makamah internasional
dilakukan menurut ketentuan-ketentuan umum yang berlaku untuk makamah-makamah
interasional bersangkutan .
[1] a.l
Arminjon I, 187 dan seterusnya
[2] a.l
Castel, Cases, 164
[3] a. l
Falconbridge, 50 dan seterusnya
[4] a.l
Raape , 107 dan seterusnya
[5] a.l Van
Brakel , 53 dan seterusnya.
[6] Biasanya
kualifikasi dalam arti ini dijalankan dengan merujuk ke arah klasifikasi hukum
yang dikenal di dalam hukum dari forum yang mengadili perkara (lex fori)
[7]
Bandingkan dengan :Sunaryati Hartono, pokok-pokok hukum perdata internasional,
Binacipta, h. 70 dan Cramton, Roger, conflict of lawa-cases-comments-question,
west, 1987, h. 70 dst.
[8] Locus
celebrationis adalah tempat dimana perkawinan diresmikan sehingga hukum dari
tempat itu (d.h.i hukum Inggris) menjadi lex loci celebrationis.
[9] Bdgk.
Wolff, 154 :” it is therefore preferable to start from view that every legal
rule takes its classification from the legal system to which it belongs”.
[10] Bdgk.
Niederer, 239.
[11] Van
Brakel, 62.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar