KETERTIBAN UMUM
A.
Pendahuluan
Persoalan ketertiban umum (public
order), perbelakuan kaidah-kaidah hukum yang bersifat memaksa (mandatory laws)
dan persoalan-persoalan atas hak-hak yang diperoleh (vested rights) adalah
beberapa dari persoalan pokok HPI, khususnya yang berkaitan dengan pernyataan
tentang sejauh mana suatu forum harus mengakui atau dapat mengesampingkan
sistem hukum, kaidah hukum asing, atau hak-hak dan kewajiban-kewajiban hukum
asing. Jika oleh HPI telah ditentukan bahwa hukum asing harus diperlakukan, hal
ini tidak berarti bahwa selalu dan dalam semua hal harus dipergunakan hukum
asing ini. Jika pemakaian hukum asing ini berarti pelanggaran yang sangat
daripada sendi-sendi azasi hukum nasional Hakim, maka dalam hal-hal
pengecualian, hakim dapat mengenyampingkan hukum asing ini.
Fungsi daripada lembaga ketertiban
umum adalah seolah-olah suatu “rem darurat”. Pemakaian “rem darurat”[1]
juga harus hati-hati dan seirit mungkin. Karena apabila kita terlampau menarik
rem darurat ini maka “kereta HPI” tidak dapat berjalan dengan baik.
Penyalahgunaan rem darurat ini diancam dengan hukuman. Jika kita terlalu banyak
menggunakan lembaga ketertiban umum berarti kita akan selalu memakai hukum
nasional kita sendiri daripada hal HPI sudah menentukan dipakainya hukum asing.
Dengan demikian maka tidak dapar berkembangnya HPI ini.
B.
Konsep ketertiban umum dalam HPI
Pemikiran tentang ketertiban umum
(public order)[2] dalam HPI pada dasarnya bertitik tolak dari
anggapan dasar bahwa “sebuah pengadilan adalah bagian dari struktur kenegaraan
yang berdaulat” dan karena itu pengasilan berwenang untu memberlakukan hukumnya
sendiri dalam perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Dalam tradisi hukum
eropa kontinental, konsep ketertiban umum dikembangkan berdasarkan prinsip
bahwa :
“ semua kaidah hukum setempat yang
dibuat untuk melindungi kesejahteraan umum (public walfare) harus didahulukan
dari ketentuan-ketentuan hukum asaing yang isinya dianggap bertentangan dengan
kaidah hukum tersebut”[3].
Martin Wolff beranggapan bahwa
masalah “orde public” merupakan exeption to the application of foreign law (
pengecualian terhadap berlakunya kaidah hukum asing )
Ahli HPI lain (di Amerika Serikat)
beranggapak “public policy” merupakan teknik yang digunakan untuk membenarkan
hakim dalam menolak suatu klaim didasarkan pada suatu kaidah hukum asing.
Sebagai suatu teknik, “ketertiban umum menunjuk pada situasi dimana pengadilan
tidak mengakui suatu tuntutan yang seharusnya tunduk pada suatu hukum negara
bagian lain karena hakikat dari tuntutan itu ditinjau dari yuridiksi forum,
jika diakui akan menyebabkan : [4]
·
Pelanggaran
terhadap prinsip-prinsip keadilan yang mendasar sifatnya atau
·
Bertentangan
dengan konsepsi yang berlaku mengenai kesusuilaan yang baik, atau
·
Bertentangan
dengan suatu tradisi yang sudah mengakar
Dengan situasi seperti diataslah maka
lembaga “ketertiban umum” dapat menjadi dasar pembenar bagi hakim untuk
menyimpang kaidah HPI yang seharusnya berlaku dan menunjuk ke arah berlakunya
suatu sistem hukum asing.
Doktrin-doktrin HPI membedakan dua
fungsi lembaga ketertiban umum, yaitu : [5]
§
Fungsi Positif
Yaitu menjamin
agar aturan-aturan tertentu dari lex fori tetap diberlakukan (tidak
dikesampingkan) sebagai akibat dari pemberlakuan hukum asing yang ditunjuk
kaidah HPI atau melalui proses pendekatan HPI, terlepas dari persoalan hukum
mana yang seharusnya berlaku, atau apa pun isi kaidah/aturan lex fori yang
bersangkutan.
§
Fungsi negarif
Yaitu untuk
menghindarkan pemberlakuan kaidah-kaidah hukum asing jika pemberlakuan itu akan
menyebabkan pelanggaran terhadap konsep-konsep dasar lex fori .
Contoh-contoh
1)
Masalah perbudakan
Di Indonesia
memakai prinsip Nasionalitas untuk status personil. Menurut pasal 16 AB, maka
juga status personil dari orang asing yang berada di Indonesia secara analogis
aka dipakai pada hukum nasional mereka. Jika masalahnya terdapat orang-orang
asing yang negara nasionalnya masih terbelakang dan masih mengakui perbudakan
seerti negara-negara Afrika yang masih terpencil, maka apabila antara
orang-orang asing ini timbul persoalan hukum dihapadkan Pengadilan Negri
Jakarta. Maka pihak hakim walaupun menurut kaidah-kaidah HPI Indonesia harus
memakai kaidah-kaidah hukum nasional dari warganegara Afrika bersangkutan,
tidak akan mempergunakan hukum ini. Hal itu dianggap bertentangan dengan
sendi-sendi azasi daripada sistem hukum kita dan falsafah negara Pancasila yang
berdila Kemanusiaan.
2)
Kematian perdata
Dalam
negara-negara modern banyak kaidah hukum asing tentang kematian perdata
“burgelijke dood”, akan dikesampingkan [6]).
Walaupun menurut kaidah HPI kita harus memakai hukum nasional pihak-pihak yang
bersangkutan, yang mengenal kematian perdata maka kaidah hukum asing ini tidak
akan dipergunakan oleh hakim nasional kita.
3)
Larangan perkawinan Nazi Jerman
Larangan
perkawinan yang diadakan oleh pemerintah Nazi Jerman. Pada waktu Nazi Jerman
sebelum perang telah diadakan Undang-undang tahun 1931 yang melarang perkawinan
antara “bangsa Aria” dengan orang-orang yang bukan Aria[7].
Adanya larangan menikah berdasarkan ras dianggap oleh banyak negara tidak dapat
diperlakukan karena melanggar ketertiban umum. Ketentuan hukum positif yang
tertera dalam pasal 7 ayat 2 Peraturan Perkawinan Campuran ( Gemengde
Huwelijken Regeling S. 1898 no 158), yang pada pokoknya menentukan bahwa
perbedaan keturunan tidak dapat dijadikan penghalang untuk menikah[8].
Walaupun menurut kaidah-kaidah HPI harus dipakai hukum nasional (hukum Jerman),
maka dalam hal khusus ini dianggap Undang-undang perkawinan Jerman ini adalah
bertentangan dengan ketertiban umum. Dengan demikian tidak dapat
diperguanakannya walaupun menurut kaidah HPI kita sendiri untuk hal-hal
sedemikian rupa ini personeel statuut harus dipergunakan hukum nasional dari
orang asing bersangkutan.
4)
Alasan-alasan perceraian
Contoh dari
yurisprudensi dalam jaman kemerdekaan adalah keputusan dari Pengadilan Negri
Jakarta di tahun 1953[9].
Dalam perkara ini seorang penggutat perempuan Lie Kwien Hien, menuntuk
perceraian dari suaminya Tjin Tjheuw Jie. Keduanya berkewarganegaraan RRC.
Mereka menikah di Purwakarta. Masalah ketertiban umu memang berubah-ubah dan
tergantung dari situasi dan kondisi. Konsepsi hukum ketertiban umu adalah hidup
dan dinamis terpengarus oleh tempat dan waktu. Konsepsi ketertiban umum selalu
berubah-ubah seperti berubahnya pandangan-pandanagan dan aliran-aliran yang
hidup dalam masyarakat yang bersangkutan.
5)
Nasionalisasi tanpa gantirugi
Nasionalisasi
tanpa disertai kerugian, masalah ketertiban umum ini nampak pula dalam masalah
pencabutan hka milik yang tidak disertai ganti rugi (istilahnya konfiskasi).
Persoalannya ialah apakah benda-benda hak miliknya dicabut ini sungguh berahli
kepada negara yang melakukan pencabutan itu atau masih tetap menjadi hak milik
dari pemilik-pemilik yang lama.
Ketertiban Umum dipakai seirit mungkin
Syarat ini
diadakan supaya secara hemat dipakainya lembaga ketertiban umumu. Diantara para
penulis HPI sudah dikemukakan peringatan-peringatan supaya ketertiban umum ini
hanya dipakai secara hemat. Hanya jika diperlukan sekali sebagai “ultimum
remedium”[10] boleh
dipakainya ini. Jika terlalu banyak dipergunakan lembaga ketertiban umum ini,
kita bisa dicap sebagai menganut “rechts-farizeisme”[11]. We are not so provincial as to say that every
solution of a problem is wrong because we deal with it otherwise at home[12]. Jika kita terlalu cepat memakai lembaga
ketertiban umum akibatnya ialah hanya pakai hukum sendiri. Kita bersifat
mengagung-agungkan, mendewa-dewakan hukum sendiri secara Chauvinistis yang
tentunya tidak adapat dipertanggungkanjawabkan dalam hubungan internasional[13].
Karena selalu hendak memakai ketertiban umum karena menganggap segala
sesuatunya yang berlainan dari hukum sendiri sudah melanggar ketertiban umum
adalah sifat Parisi (rechts-farizeisme) atau chauvinismus yuridis.
Ketertiban umum internasional dan
ketertiban umum intern
Sistem-sistem
hukum dari negara-negara mengenal
perbedaan antara apa yang dinamakan “ketertiban umum internasional”
(internasionale openbare orde, orde public internasional) dan “ketertiban umum
intern” (interne openbare orde, orde public interne). Apa yang dinamakan
ketertiban umum internasional adalah kaidah-kaidah yang bermaksud untuk
melindungi kesejahteraan negara dalam keseluruhan. Kaidah-kaidah yang termasuk
ketertiban umum intern adalah kaidah-kaidah yang membatasi kebebasan
perorangan. [14]
Ketertiban umum internasional adalah
“nasional
Terhadap istilah
“ ketertiban umum internasional” terdengar kecaman karena sesungguhnya yang
dikehendaki bukan untuk menjelaskan bahwa ketertiban umum ini bersifat tidak
lain daripada “nasional”. Sejalan dengan keberatan terhadap istilah
“internasional pada HPI”, maka kita harus melihat istilah ini bukan mengenai
sumber dan isinya internasional. Hanya hubungan-hubungannyalah yang dianggap
internasional, hanya suasananya yang dianggap internasional. Sedangkan sumber
dan isi makna ketertiban umum ini adalah nasional. Istilah yang lebih baik
dipergunakan adalah “ketertiban umum extern” terhadap “ketertiban umum intern”.
Ketertiban umum bersifat relatif. Tergantung darpada faktor-faktor tempat dan
waktu dengan istilah yang sekarang sering diperunakan dinegara tergantung
situasi dan kondisi.
Ketertiban umum berubah menurut situasi
dan kondisi
faktor
intensitas dari peristiwa yang bersangkutan dalam hubungan dengan keadaan
didalam negri[15]. Para
sarjana Jerman menyebut dalam hubungan ini apa yang dipandang mereka sebagai
“Inlandsbeziehungen”.
Contohnya :
a.
Perceraian
Di Prancis,
sebelum 1884 perceraian tidak diperbolehkan tetapi setelah 1884 perceraian
dapat dilakukan. Maka, pengertian ketertiban umum selalu berubah. Ini merupakan
contoh variabilitas ketertiban umum yang dipengaruhi oleh waktu.
b.
Konsepsi hak milik pribadi
Dalam konsepsi
tentang hak milik pribadi berbeda-beda. Di negara x masih berpegang teguh hak
milik sebagai suatu yang merupakan hak yang suci. Dalam pasal 33 UUD 1945 dan
pasal 6 UUPA di negra kita sendiri yang mengedepankan bahwa hak milik adalah
fungsi sosial. Hukum merupakan suatu sistem yang hidup, karena sifatnya yang
hidup hukum ini bukan statis melainkan dinamis. Karenanya selalu berubah-ubah
pandangan-pandangannya yang hidup dari masa ke masa dan dari tempat ke tempat.
Demikian pula konsepsi-konsepsi ketertiban umum, berubah-rubah pula tergantung
pada situasi dan kondisi, tempat dan waktu.
c.
Yurisprudensi tentang pencabutan hak milik.
Sesuai dengan konsepsi
hak milik dan fungsinya maja adanya sikap yuriprudensinya yang berbeda berkenan
dengan masalah pencabutan hak milik. Perisstiwa pencabutan hak milik selalu
menmpunyai hubungan dengan ketertiban umum. Persoalan ketertiban umum selalu
dikedepankan dalam yurisprudensi pencabutan hak milik.
[1] Sudargo,
Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Binacipta, 1977, h
133 dst.
[2] Beberapa
istilah lain : order public (prancis) ; openbare orde (Belanda); public policy,
public order (Inggris); atau kepentingan umum (Indonesia)
[3]
Bandingkan dengan Cheschire, G.C. & North, P.M, Private International Law
[4] Sedler,
Robert & Cramton, Roger, Sum and Substance of Conflict of Laws, Jospehnson
and Kluwer, 3rd Ed. 1987, hl 24 dan 25.
[5]
Bandingkan dengan Rooji, Rene van & Polak, Maurice van, Private
International Law in the Netherlands, Kluwer, 1987, hh 237-238.
[6] Bdgk.
Pasal 3 BW
[7] Lihat
Kollewijn, dis. 78 dan seterusnya untuk contoh-contoh larangan menikah ini
[8] Pasal 7
ayat 2 ini berbunyi: Perbedaan agama, golongan rakyat atau keturunan tidak
pernah dapat merupakan penghalang untuk menikah.
[9]
Keputusan sela PN Jakarta 5-12-1953, H 1958 no.7-8, halaman 44 dan seterusnya
[10]
Schnitzer I, 234.
[11]
Kollewijn, diss.
[12] Perkara
Loucks v. Standard Oil Co 1918, 224 NY 99 s.d Kuhn, 37, Webb and Brown, 466.
[13] Bdgk.
Wolff, IPR_Deutsclands, 61.
[14] Bdgk.
Kuhn, 40
[15] Bdgk,
Wolff, 168
Tidak ada komentar:
Posting Komentar