PENYELUNDUPAN HUKUM
A. Hubungan dengan Ketertiban Umum
Ketertiban umum dan penyelundupan
hukum mempunyai hubungan yang erat. Kedua-keduanya bertujuan agar supaya hukum
nasional dipakai dengan mengenyampingkan hukum asing. Hukum asing dinyatakan
tidak berlaku jika dipandang sebagai penyelundupan hukum. Kedua-keduanya hendak
mempertahankan hukum nasional terhadap kaidah-kaidah hukum asing[1].
Perbedaan antara ketertiban umum dan penyelundupan hukum adalah bahwa pada yang
pertama kita saksikan bahwa pada umumnya suatu hukum nasional dianggap tetap
berlaku, sedangkan dalam penyelundupan hukum kita, hukum nasional tetap berlaku
itu dan dianggap tepat pada suatu periwtiwa tertentu saja, yaitu ada seseorang
yang untuk mendapatkan berlakunya hukum asing telah melakukan tindakan yang
bersifat menghindarkan pemakaian hukum nasional itu. Jadi hukum asing
dikesampingkan karena penyelundupan hukum, akan mengakibatkan bahwa untuk
hal-hal lainnya akan selalu boleh dipergunakan hukum asing itu. Dalam hal-hal
khusus, kaidah asing tidak akan dipergnakan karena hal ini dimungkinkan
(pemakaian hukum asing ini) oleh cara yang tidak dapat dibenarkan.
B. Penyelundupan hukum dan hak-hak yang
diperoleh
Lembaga penyelundupan hukum dapat
juga dilihat dalam hubungannya dengan masalah “hak-hak yang diperoleh”. Bahwa
penyelundupan hukum justru bertentangan dengan hak-hak yang diperoleh[2].
Karena pada penyelundupan hukum kaidah-kaidah asing dikesampingkan dan hukum
nasional di[ergunakan. Tetapi pada “hak-hak yang diperoleh” justru hak-hak itu
telah diperoleh menurut hukum asing diakui dan dihormati oleh hukum nasional
hakim sendiri.
C. Contoh-contoh
a) Perkawinan
a. Perkawinan gretna Green
Greetna green adalah sebuah desa yang
terletak di Skotlandia. Merupakan tempat dimahna berlangsungnya pernikahan bagi
orang-orang Inggris yang tidak memiliki persetujuan orang tua. Terkenal dengan
sebutan “ The Blacksmith of Gretna Green” yaitu hakim perdamaian dihadapan
siapa harus diucapkan untuk menikah.
b. Perkawinan orang-orang dari Indonesia
di Penang atau Singapura
Dalam praktek hukum Indonesia dikenal
dengan larangan untuk menikah kembali bagi pihak perempuan yang telah bercerai
sebelum 300 hari lewat. Akan tetapi mereka dapat melangsungkan penikawinan
sebelum 300 hari lewat, mereka melakukan pernikahan di Pinang atau Singapura,
karena Singapura menganut hukum Inggris dimana hukum Inggris tidak ada dikeneal
jangka waktu masa idah 300 hari lewat.
c. Perkawinan untuk memperoleh
kewarganegaraan
Penyelundupan hukum dapat juga
dilangsungkan untuk mencoba memperoleh kewarganegaraan suatu negara atau untuk menggelakkan
bahaya pengusiran atau hal lain keuntungan-keuntungan tertentu dan sebagainya.
D. Contoh-contoh perceraian
a) Perceraian dan perkawinan a la
Zevenburgen
Di dalam beberapa negara tidak
mengenal adanya lembaga perceraian, demikian juga di dalam Negara Italia atau
Austria dahulu sebelum 1938. Menurut paragraph III dari B.G.B Australia dulu
perkawinan hanya dapat diputuskan antara orang beragama katholik karena
meninggalnya salah satu pihak. Jika warganegara Austria yang beragama katholik
mau bercerai makan mereka pergi ke Hongaria. Dengan cara:
1) Mereka memperoleh satu keputusan
cerai dari meja dan tempat tidur dari badan peradilan Australia
2) Kemudian mereka melakukan natrulisasi
menjadi warganegara Hongaria
3) Disusul dengan menjadi anggota dari
suatu jamaat Protestan di Zevenburgen.
4) Setelah itu didapatkan putusan cerai
meja dan tempat tidur a la Austria diubah menjadi keputusan cerai yang difinitif
oleh badan peradilan gerejami di Klausenburg.
Oleh makamah agung Austria pada tahun
1907 diakui sah perkawinan-perkawinan baru demikian terlebih dahuku dilakukan
perceraian. [3]
b) Naturalisatie Estlandia
Seorang pria warganegara Belanda v.A
telah menikah di Cirebon dengan seorang perempuan Belanda[4].
Pada saat mereka mau bercerai menurut B.W alasan mereka untuk bercerai belum
cukup alasan, karena hanya dapat menghasilkan suatu keputusan hidup terpisah
meja dan tempat tidur. Estlandia terkenal sebagai negara yang mudah
dilangsungkan perceraian. Maka dari itu, v.A menjadi warganegara Estlandia juga
satu negara Batlik. Bahwa van.A bersedia untuk melakukan naturalisasi menjadi
warganegara Estlandia. Ia mengajukan permohonan naturalisasi bulan Juni 1933
dalam waktu singkat tanggal 9 September 1933 permohonannya dikabulkkan. Ia
menjadi warganegara Estlandia. v.A memperoleh keputusan cerai dari Pengadilan
di Riga, Letlandia, pada tanggal 6 Maret 1934 dengan alasan ia hidup terpisah
selama 3 tahun berpisah dengan istrinya. Kemudian v.A menikah lagi yang
dilangsungkan di Edinburgh, Scotlandia. Istri pertama v.A tidak mengetahui
bahwa suamianya telah menceraikannya.
Hakim di Netherland memandang
perceraian yang telah dilakukan sah adanya dan juga perkawinan keduanya. Walaupun
pengadilan Belanda berpendapat naturalisasi Estlandia dilakukan secara
penyelundupan hukum. Pihak istri pertama menuntut ke Rechtbank Amsterdam supaya
perkawinan yang dilakukan di Edinburgh dinyatakan batal dan supaya pendaftaran
perkawinan baru dalam daftar perkawinan di Netherland dihapuskan.
c) Peristiwa Putri de Bauffermont
Seorang puti yang asalnya
berkewarganegaraan Belgia karena perkawinan dengan seorang Prancis telah
menjadi warganegara Prancis. Ia menuntuk perceraian tetapi pada saat itu di Prancis
tidak ada peradilan perceraian (sebelum 1884). Dia hanya dapat memperoleh
keputusan hidup pisah meja dan tepat tidur dari hakim Prancis. Kemudian putri
melakukan naturalisasi di Saxen-Altenburg, maka dari itu dia menjadi
warganegara Jerman, di Jerman di meminta perceraian di kabulkan. Setelah itu
dia menikah kembali dengan Prins Bibesco seseorang warganegara Rumania. Pihak
suami yang pertama mengajukan tuntutan kehadapan hakim Prancis. Kemudian
menentukan bahwa perkawinan yang pertama masih berlaku sah. Hukum Belgia
menganggap perceraian sah dan pula perkawinan keduanya. Tetapi hakim banding di
Belanda memberi putusan yang sama dengan hakim Jerman.
Sebaliknya di Jerman perkawinan
keduanya diakui sah. Hakim Prancis menganggap tidak sah percerain ini karena
dikatakan bahwa naturalisasi yang dilakukan tidak dilakukan dengan
sungguh-sungguh. Hanya ingin meloloskan diri dari hukum yang berlaku secara memaksa
baginya.
d) Peristiwa Helene Bohlau
Helene Bohlau, seorang evangeliste.
Seorang pria tanpa kewarganegaraan yang dilahirkan di Petersburg, telah menikah
pada tahun 1863 di Helgoland (wilayah Inggris) dengan seseorang wanita Saksen
yang dilahirkan juga di Petersburg pada tahun 1884. Kemudian mereka bertempat
tinggal di Berlin dan mempunyai seorang anak. Pada tahun 1886 sang suami pergi
ke kota Konstatinopel disertai evangelist Helene Bohlau. Disana pria tersebut
masuk Islam dan menjadi warganegara Turki. Karena berubahnya agama pria
tersebut maka perkawinannya bubar. Pada akhir tahun 1886 ia mengirim surat tak
ke alamat istrinya di Berlin dan tahun 1887 ia menikah dengan Helene Bohlau di
Konstatinopel dan kembali ke Jerman dimana ia hidup bersama di Munchen sejak
1888.
Setelah tahun 1900 istri pertama
mengajukan gugatan agar perkawinan pertamanya masih dianggap sah, diajukan ke
Oberlandesgericht di Muncen dan kemudian kembali lagi ke Bayerische Oberste
Landesgericht serta kembali lagi ke Oberlandesgericht di Muncen. Dalam
keputusan yang pertama Oberlandesgericht Muncen menolak untuk menerima perceraian
secara surat talak, karena dianggap bertentangan dengan ordre public pasal 30
EGBGB. Akan tetapi Bayerische Oberste Landesgericht menanggap pendirian ini
kurang tepat tidak pertentangan dengan ordre public. Kemudian OLG Munchen juga
menolak adanya pelanggaran ketertiban umum dan tuntutan dari pihak istri yang
pertama.
e) Peristiwa Nyonya Mr. I. Tj
Nyonya Mr. I. Tj seorang perempuan
Belanda J.M.R telah menikah dengan Mr. I. Tj, seorang pengacara Indonesia yang
terkenal. Perkawinan mereka dilangsungkan dihadapan penghulu di Bandung.
Sebelum penerikahan dilangsungkan terlebih dahulu perempuan J.M.R tersebut
telah menyatakan masuk agama islam. Pihak istri ternayata hendak melepaskan
diri dari hubungan perkawinan, tetapi suami tidak memberikan surat talak.
Istrinya pergi ke Labuhan Balik di
Prapatan Panel dan meninggalkan suaminya itu. Kemudian di Prapatan Panel
melakukan murtad dari agama islam. Dengan cara ia mengucapkan ikrar di depan
Tengku Sutan, Raja Negri Panel serta dihadapa Gedelegeerde Gezaghebber di situ.
Setelah itu ia menghadap kepada Raad Agama Kerapatan Beasar Negri Panei untuk
menguatkan lebih lama dalam hubungan perkawinan denga Mr. I. Tj karena sudah
melakukan murtad itu
Tenyata J.M.R ini memang ingin
menikah lagi dengan seseorang dan tidak lama kemudian ia menghadap kepada
pegawai Burgerlijke Stand di Surabaya dengan permohonan untuk dapat
melangsungkan perkawinan baru, kali ini dengan seorang pria R.P.D seorang
Belanda, ia dilahirkan di Belanda.
f) Peristiwa De Ferrari
Ny. Ferarri melepaskan diri dari
ikatan perkawinan dengan melakukan naturalisasi kembali menjadi kewarganegaraan
Prancis. Ia melakukannya demi bercerai dengan suaminya yang menikah menurut
hukum Italia. Dimana italis tidak dikenal dengan perceraian pada saat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar