Minggu, 07 Desember 2014

PILIHAN HUKUM



PILIHAN HUKUM
Pilihan hukum adalah para pihak dalam suatu kontrak bebas untuk melakukan pilihan, mereka dapat memilih sendiri hukum mana yang harus dipakai untuk kontrak mereka. Karena adanya kebebasan dalam memilih pilihan hukum tetapi dalam memilih pilihan hukum memiliki beberapa batasan (restrictions) yang dikembangkan dalam HPI untuk menetapkan validitasi suatu pilihan hukum, antara lain:
1)      Jika pilhan hukum dimaksudkan hanya untuk membentu atau menfsirkan persyaratan-persyaratan dalam kontrak, kebebasan pasa pihak pada dasarnya tidak dibatasi.
2)      Pilihan hukum tidak boleh melanggar public policy atau public order (ketertiban umum) dari sistem-sistem hukum yang mempunyai kaitan yang nyata dan substansi terhadap kontrak.
Scoles dan hays berpendapat bahwa :
Commentators and courts generally agree that, at some point, a state other than that chosen by the parties can assert its public policy and void the stipulation.
Dari pernyataan tersebut tersirat pengertian bahwa forum tidak dapat begitu saja membatalkan suatu kalusula pilihan hukum hanya dengan alasan bahwa hukum yang dipilih para pihak berbeda dengan lex fori. Kewenangan semacam itu baru terbit apabila perbedaan tersebut sudah menyentuh aspek ketertiban umum dari forum atau dari sistem hukum lain yang mempunyai kaitan signifikan dengan kontrak.
3)      Pilihan hukum hanya dapat dilakukan ke arah suatu sistem hukum yang berkaitan secara substansial dengan kontak. Faktor-faktornya misalnya : tempat pembuatan kontrak, tempat pelaksanaan kontrak, domisili atau kewarganegaraan para pihak, tempat pendirian atau pusat administrasi badan hukum.
4)      Pilihan hukum tidak boleh dimaksud atau bagian tertentu dari kontrak mereka pada suatu sistem hukum asing, sekedar untuk menghindarkan diri dari suatu kaidah hukum yang memaksa dari sistem hukum yang seharusnya berlaku seandainya tidak ada pilihan hukum. Pilihan hukum seperti ini dapat dianggap sebagai pilihan hukum yang tidak bona fide atau dianggap sebagai penyelundupan hukum.
5)      Pilihan hukum hanya dapat dilakukan untuk mengatur hak dan kewajiban yang timbul dari kontrak dan tidak untuk mengatur masalah validitas pembentukan perikatan/perjanjian.
6)      Pilihan hukum ke arah suatu sistem hukum tertentu harus dipahami sebagai suatu “sachnormverweisung”, dalam arti pemilihan ke arah kaidah hukum intern dari sistem hukum yang bersangkutan dan tidak mengarah kepada kaidah-kaidah HPI-nya.
7)      Kewajiban untuk melakukan pilihan hukum pada saat kontrak ditutup (ada beberapa negara dan konvensi internasional yang tidak memberlakukan larangan ini).
8)      Larangan melakukan pilihan hukum ke arah sistem hukum yang sama sekali tidak memiliki kaitan nyata dengan kontrak atau transaksi yang dibuat oleh para pihak (ada negara yang tidak memberlakukan larangan ini)
9)      Kewajiban untuk melakukan pilihan hukum ke arah sistem hukum nasional suatu negara tertentu atau arah konvesi-konvensi internasional dan tidak ke arah kaidah-kaidah transnasional atau prinsip-prinsip dalam perdagangan internasional[1].
10)  Pilihan hukum harus jelas diarahkan pada suatu sistem hukum nasional tertentu. Pilihan hukum yang tidak bermakna tidak dapat diakui sebagai pilihan hukum yang sah.
A.      Macam-macam pilihan hukum
Ada 4 macam pilihan hukum, yaitu :
a)      Pilihan hukum secara tegas
Di dalam klausula-klausula kontrak-kontrak tertentu dapat kita saksikan adanya pilihan  hukum secara tegas ini. Dalam klausula-klausula dalam kontrak joint venture, management contract atau technical assistant contract, dimana dinyatakan:
“this contract will be governed by the laws of the Republic of Indonesia”
Contoh dalam kontrak-kontrak asuransi laut untuk perdagangan internasional, sering kali ditunjuk kepada English Insurance Act 1906 dan syarat-syarat serta kebiasaan-kebiasaan dari polis-polis Lloyd Inggris.
b)      Pilihan hukum secara diam-diam
Pilihan hukum ini dapat disimpulkan maksud para pihak ini mengenai hukum yang mereka kehendaki, dari sikap mereka dari isi dan bentuk perjanjian. Keberatan terhadap pilihan hukum secara diam-diam ini adalah jika hakim hendak melihat adanya suatu pilihan yang sebenarnya tidak ada. Hakim hanya menekankan kepada kemauan para pihak yang diduga dan yang dikedepankankan adalah kemauan para pihak yang fiktip.[2]
c)      Pilihan hukum yang dianggap
Pilihan hukum yang secara dianggap ini hanya merupakan apakah dalam istilah hukum dianggap “preasumptio iuris”, suatu “rechtsvermoeden”. Hakim hanya menerima telah terjadi suatu pilihan hukum berdasarkan dugaan-dugaan hukum belaka.
d)      Pilihan hukum secara hypothetisch
Pilihan hukum secara hypothetisch ini dikenal di Jerman. Sebenarnya tidak ada suatu kemauan dari para pihak untuk memilih sedikitpun. Hakimlah yang melakukan pilihan ini. Hakim bekerja dengan suatu fictie. Seandainya para pihak telah memikir akan huku yang harus diperlakukan hukum manakah yang telah dipilih oleh mereka secara sebaik-baiknya. Jadi sebenarnya ini adalah suatu pilihan buka daripada para pihak melainkan hakim itu sendiri.
Dalam memilih pilhan hukum dapat memilih lebih dari 1 sistem hukum, dengan cara:
1)      Pembagian yang dimufakati
Para pihak dapat mufakaati bahwa diadakan pembagian dari pada kontrak mereka dan hukum yang harus diperlakukan untuk bagian-bagian tertentu.
2)      Pilihan hukum alternatif
Para pihak dapat menentukan bahwa dua atau lebih sistem hukum secara alternatif berlaku untuk perjanjiaan mereka. Misalnya menentukan bahwa hukum domisili dari pihak kesatu atau pihak lain yang berlaku hingga tergugat dapat mempergunakan hukum tempat domisili. [3]
3)      Pilihan hukum selektif
Para pihak dapat menentukan bahwa suatu sistem hukum “komplex” adalah yang berlaku. Misalnya jika antara pedagang Indonesia dan pedagang Jepang ditentukan “ hukum Indonesia” yang berlaku. Hukum Indonesia ini bersifat komplex bahkan multi komplex.
Pilihan hukum dapat dirubah setelah ditutupnya perjanjian, jika bila pilihan hukum itu berubah maka seluruh perubahan inipun termasuk dalam pilihan. Karena hukum bukan sesuatu yang statis tetapi selalu hidup dan berkemang adanya.[4]
B.      The proper law of contract
Konsep the proper law of contract ini sebenarnya bertitik tolak dari anggapan dasar bahwa setiap aspek dari sebuah kontrak dari sebuah kontrak pasti terbentuk berdasarkan sistem hukum walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa aspek dari suatu kontrak diatur oleh sistem hukum yang berbeda.
Asas-asas tentang penentuan “The proper law of contract”
Titik taut sekunder menjadi indikator untuk menentuka the proper law of contract
a)      Asas lex loci contractus
Berdasarkan asas ini “the proper of contract” adalah hukum dari tempat pembuatan kontrak. Tempat dimana dilaksanakannya tindakan terakhir yang dibutuhkan untuk terbentuknya kesepakatan.
b)      Asas lex loci solutionis
Asas lex loci solutionis adalah hukum dari tempat pelaksanaan perjanjian. Asas ini mengangap bahwa” the proper law of contract” adalah lex loci solutionis ini sebenarnya merupakan variasi dari penerapan locus regid actum. Dalam perkembangannya ternyata asa lex loci sulotionis tidak selalu memberikan jalan keluar yang memuaskan. Karena itu dalam praktek, tidak ditutup kemungkinan untuk menundukan bagian-bagian kontrak pada sistem hukum yang berbeda, tetapi hal semacam itu tampaknya akan menyulitkan pengadilan untuk menyelesaikan perkara.

c)      Asas kebebasan para pihak
Asas ini sebenarnya merupakan perkembangan apresiasi terhadap asas utama dalam hukum perjanjian, yaitu setiap orang pada dasarnya memiliki kebebasan untuki mengikatkan diri pada perjanjian”.



[1] Bayu seto hardjowahono, The Unification of Private International Law on International Commersial Contract within the regional legal system of ASEAN , h 87 dst.
[2] Bdgk. Hijmans, 169: Kisch, prasaran Handelingen N.J.V (1947, 167.
[3] Niederer tidak menyetujuinya. Perjanjian yang sekaligus dapat takluk bahwa lebih dari satu sistem hukum, hal 198.
[4] Reczei, Frgen IPR, hal 167
Batiffol, Contrats, halaman 68. Berlainan Niboret, couts d.i.p, halamn 599.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar