Jumat, 12 Desember 2014

PENYELUNDUPAN HUKUM



PENYELUNDUPAN HUKUM
A.      Hubungan dengan Ketertiban Umum
Ketertiban umum dan penyelundupan hukum mempunyai hubungan yang erat. Kedua-keduanya bertujuan agar supaya hukum nasional dipakai dengan mengenyampingkan hukum asing. Hukum asing dinyatakan tidak berlaku jika dipandang sebagai penyelundupan hukum. Kedua-keduanya hendak mempertahankan hukum nasional terhadap kaidah-kaidah hukum asing[1]. Perbedaan antara ketertiban umum dan penyelundupan hukum adalah bahwa pada yang pertama kita saksikan bahwa pada umumnya suatu hukum nasional dianggap tetap berlaku, sedangkan dalam penyelundupan hukum kita, hukum nasional tetap berlaku itu dan dianggap tepat pada suatu periwtiwa tertentu saja, yaitu ada seseorang yang untuk mendapatkan berlakunya hukum asing telah melakukan tindakan yang bersifat menghindarkan pemakaian hukum nasional itu. Jadi hukum asing dikesampingkan karena penyelundupan hukum, akan mengakibatkan bahwa untuk hal-hal lainnya akan selalu boleh dipergunakan hukum asing itu. Dalam hal-hal khusus, kaidah asing tidak akan dipergnakan karena hal ini dimungkinkan (pemakaian hukum asing ini) oleh cara yang tidak dapat dibenarkan.
B.      Penyelundupan hukum dan hak-hak yang diperoleh
Lembaga penyelundupan hukum dapat juga dilihat dalam hubungannya dengan masalah “hak-hak yang diperoleh”. Bahwa penyelundupan hukum justru bertentangan dengan hak-hak yang diperoleh[2]. Karena pada penyelundupan hukum kaidah-kaidah asing dikesampingkan dan hukum nasional di[ergunakan. Tetapi pada “hak-hak yang diperoleh” justru hak-hak itu telah diperoleh menurut hukum asing diakui dan dihormati oleh hukum nasional hakim sendiri.



C.      Contoh-contoh
a)      Perkawinan
a.      Perkawinan gretna Green
Greetna green adalah sebuah desa yang terletak di Skotlandia. Merupakan tempat dimahna berlangsungnya pernikahan bagi orang-orang Inggris yang tidak memiliki persetujuan orang tua. Terkenal dengan sebutan “ The Blacksmith of Gretna Green” yaitu hakim perdamaian dihadapan siapa harus diucapkan untuk menikah.
b.      Perkawinan orang-orang dari Indonesia di Penang atau Singapura
Dalam praktek hukum Indonesia dikenal dengan larangan untuk menikah kembali bagi pihak perempuan yang telah bercerai sebelum 300 hari lewat. Akan tetapi mereka dapat melangsungkan penikawinan sebelum 300 hari lewat, mereka melakukan pernikahan di Pinang atau Singapura, karena Singapura menganut hukum Inggris dimana hukum Inggris tidak ada dikeneal jangka waktu masa idah 300 hari lewat.
c.       Perkawinan untuk memperoleh kewarganegaraan
Penyelundupan hukum dapat juga dilangsungkan untuk mencoba memperoleh kewarganegaraan suatu negara atau untuk menggelakkan bahaya pengusiran atau hal lain keuntungan-keuntungan tertentu dan sebagainya.
D.     Contoh-contoh perceraian
a)      Perceraian dan perkawinan a la Zevenburgen
Di dalam beberapa negara tidak mengenal adanya lembaga perceraian, demikian juga di dalam Negara Italia atau Austria dahulu sebelum 1938. Menurut paragraph III dari B.G.B Australia dulu perkawinan hanya dapat diputuskan antara orang beragama katholik karena meninggalnya salah satu pihak. Jika warganegara Austria yang beragama katholik mau bercerai makan mereka pergi ke Hongaria. Dengan cara:
1)      Mereka memperoleh satu keputusan cerai dari meja dan tempat tidur dari badan peradilan Australia
2)      Kemudian mereka melakukan natrulisasi menjadi warganegara Hongaria
3)      Disusul dengan menjadi anggota dari suatu jamaat Protestan di Zevenburgen.
4)      Setelah itu didapatkan putusan cerai meja dan tempat tidur a la Austria diubah menjadi keputusan cerai yang difinitif oleh badan peradilan gerejami di Klausenburg.
Oleh makamah agung Austria pada tahun 1907 diakui sah perkawinan-perkawinan baru demikian terlebih dahuku dilakukan perceraian. [3]
b)      Naturalisatie Estlandia
Seorang pria warganegara Belanda v.A telah menikah di Cirebon dengan seorang perempuan Belanda[4]. Pada saat mereka mau bercerai menurut B.W alasan mereka untuk bercerai belum cukup alasan, karena hanya dapat menghasilkan suatu keputusan hidup terpisah meja dan tempat tidur. Estlandia terkenal sebagai negara yang mudah dilangsungkan perceraian. Maka dari itu, v.A menjadi warganegara Estlandia juga satu negara Batlik. Bahwa van.A bersedia untuk melakukan naturalisasi menjadi warganegara Estlandia. Ia mengajukan permohonan naturalisasi bulan Juni 1933 dalam waktu singkat tanggal 9 September 1933 permohonannya dikabulkkan. Ia menjadi warganegara Estlandia. v.A memperoleh keputusan cerai dari Pengadilan di Riga, Letlandia, pada tanggal 6 Maret 1934 dengan alasan ia hidup terpisah selama 3 tahun berpisah dengan istrinya. Kemudian v.A menikah lagi yang dilangsungkan di Edinburgh, Scotlandia. Istri pertama v.A tidak mengetahui bahwa suamianya telah menceraikannya.
Hakim di Netherland memandang perceraian yang telah dilakukan sah adanya dan juga perkawinan keduanya. Walaupun pengadilan Belanda berpendapat naturalisasi Estlandia dilakukan secara penyelundupan hukum. Pihak istri pertama menuntut ke Rechtbank Amsterdam supaya perkawinan yang dilakukan di Edinburgh dinyatakan batal dan supaya pendaftaran perkawinan baru dalam daftar perkawinan di Netherland dihapuskan.
c)      Peristiwa Putri de Bauffermont
Seorang puti yang asalnya berkewarganegaraan Belgia karena perkawinan dengan seorang Prancis telah menjadi warganegara Prancis. Ia menuntuk perceraian tetapi pada saat itu di Prancis tidak ada peradilan perceraian (sebelum 1884). Dia hanya dapat memperoleh keputusan hidup pisah meja dan tepat tidur dari hakim Prancis. Kemudian putri melakukan naturalisasi di Saxen-Altenburg, maka dari itu dia menjadi warganegara Jerman, di Jerman di meminta perceraian di kabulkan. Setelah itu dia menikah kembali dengan Prins Bibesco seseorang warganegara Rumania. Pihak suami yang pertama mengajukan tuntutan kehadapan hakim Prancis. Kemudian menentukan bahwa perkawinan yang pertama masih berlaku sah. Hukum Belgia menganggap perceraian sah dan pula perkawinan keduanya. Tetapi hakim banding di Belanda memberi putusan yang sama dengan hakim Jerman.
Sebaliknya di Jerman perkawinan keduanya diakui sah. Hakim Prancis menganggap tidak sah percerain ini karena dikatakan bahwa naturalisasi yang dilakukan tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Hanya ingin meloloskan diri dari hukum yang berlaku secara memaksa baginya.
d)      Peristiwa Helene Bohlau
Helene Bohlau, seorang evangeliste. Seorang pria tanpa kewarganegaraan yang dilahirkan di Petersburg, telah menikah pada tahun 1863 di Helgoland (wilayah Inggris) dengan seseorang wanita Saksen yang dilahirkan juga di Petersburg pada tahun 1884. Kemudian mereka bertempat tinggal di Berlin dan mempunyai seorang anak. Pada tahun 1886 sang suami pergi ke kota Konstatinopel disertai evangelist Helene Bohlau. Disana pria tersebut masuk Islam dan menjadi warganegara Turki. Karena berubahnya agama pria tersebut maka perkawinannya bubar. Pada akhir tahun 1886 ia mengirim surat tak ke alamat istrinya di Berlin dan tahun 1887 ia menikah dengan Helene Bohlau di Konstatinopel dan kembali ke Jerman dimana ia hidup bersama di Munchen sejak 1888.
Setelah tahun 1900 istri pertama mengajukan gugatan agar perkawinan pertamanya masih dianggap sah, diajukan ke Oberlandesgericht di Muncen dan kemudian kembali lagi ke Bayerische Oberste Landesgericht serta kembali lagi ke Oberlandesgericht di Muncen. Dalam keputusan yang pertama Oberlandesgericht  Muncen menolak untuk menerima perceraian secara surat talak, karena dianggap bertentangan dengan ordre public pasal 30 EGBGB. Akan tetapi Bayerische Oberste Landesgericht menanggap pendirian ini kurang tepat tidak pertentangan dengan ordre public. Kemudian OLG Munchen juga menolak adanya pelanggaran ketertiban umum dan tuntutan dari pihak istri yang pertama.


e)      Peristiwa Nyonya Mr. I. Tj
Nyonya Mr. I. Tj seorang perempuan Belanda J.M.R telah menikah dengan Mr. I. Tj, seorang pengacara Indonesia yang terkenal. Perkawinan mereka dilangsungkan dihadapan penghulu di Bandung. Sebelum penerikahan dilangsungkan terlebih dahulu perempuan J.M.R tersebut telah menyatakan masuk agama islam. Pihak istri ternayata hendak melepaskan diri dari hubungan perkawinan, tetapi suami tidak memberikan surat talak.
Istrinya pergi ke Labuhan Balik di Prapatan Panel dan meninggalkan suaminya itu. Kemudian di Prapatan Panel melakukan murtad dari agama islam. Dengan cara ia mengucapkan ikrar di depan Tengku Sutan, Raja Negri Panel serta dihadapa Gedelegeerde Gezaghebber di situ. Setelah itu ia menghadap kepada Raad Agama Kerapatan Beasar Negri Panei untuk menguatkan lebih lama dalam hubungan perkawinan denga Mr. I. Tj karena sudah melakukan murtad itu
Tenyata J.M.R ini memang ingin menikah lagi dengan seseorang dan tidak lama kemudian ia menghadap kepada pegawai Burgerlijke Stand di Surabaya dengan permohonan untuk dapat melangsungkan perkawinan baru, kali ini dengan seorang pria R.P.D seorang Belanda, ia dilahirkan di Belanda.
f)       Peristiwa De Ferrari
Ny. Ferarri melepaskan diri dari ikatan perkawinan dengan melakukan naturalisasi kembali menjadi kewarganegaraan Prancis. Ia melakukannya demi bercerai dengan suaminya yang menikah menurut hukum Italia. Dimana italis tidak dikenal dengan perceraian pada saat itu.




[1] Wirjono Prodjodikoro, 58
[2] Bdgk. Wirjono Prodjodikoro. 58
[3] Keputusan M.A Austria 18-6-1907 s.d Kosters-Dubbink, 415
[4] Untuk pembahasan perkara ini, lihat juga buku Tafsiran Undang-undang Kewarganegaraan RI (1960) 126, 127; Mulder, 103.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar