Minggu, 07 Desember 2014

KUALIFIKASI



KUALIFIKASI
A.     Istilah-istilah
Istilah-istilah untuk kwalifikasi adalah “qualification” (Prancis)[1], “qualification”, “classification”[2]), “characterization” (Inggris). [3]) Istilah jerman :”Qualifikation”, [4]) “charakterisierung”, “latente Gesetzeskonflikten” istilah Belanda : “Qualificate” [5]).
B.      Pengertian dan Problematika Kualifikasi Fakta/ Hukum dalam HPI
Kualifikasi adalah bagian dari proses yang hampir pasti dilalui karena dengan kualifikasi, orang mencoba untuk menata sekumpulan fakta yang dihadapinya (sebagai persoalan hukum), mendenifikasikannya dan kemudian menempatkannya kedalam suatu katagori yuridik tertentu. Ada dua jenis kualifikasi, yaitu :
  • Kualifikasi fakta (classification of facts)
Yaitu proses kualifkasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta yang dihadapi dalam sebuah peristiwa hukum (atau perkara) untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa atau masalah hukum (legal issue), sesuai dengan sistem klasifikasi kaidah-kaidah hukum yang berlaku didalam suatu sistem hukum tertentu.
  •  Kualifikasi hukum ( legal classification )
Yaitu penetapan tentang penggolongna/ pembagian seluruh kaidah hukum di dalam suatu hukum ke dalam pembidangan, pengelompokan atau katagori hukum tertentu.
(1)   Persetujuan orang tua untuk menikah
Juga mengenai masalah persetujuan pihak orang tua untuk menikah yang seperti kita ketahui dalam B.W. Disyaratkan bagi tiap orang sebelum berumur 30 tahun timbul persoalan kualifikasi. Apakah ini termasuk bentuk dari “perbuatan hukum” atau harus dianggap sebagai termasuk bidang “ substantive conditions of marrige”, seperti misalnya Code Civil Perancis, atau B.W .Indonesia. Jika termasuk capacity, maka pasal 16 AB lah yang menentukan status personil ini. Apabila dianggap “form” maka pasal 18 AB dengan asas “ Locus regit actum” yang berlaku.
(2)   Masalah penentuan Locus contractus
Dalam hukum kontrak Internasional pernah dikemukakan sebagai TPS (titik pertalian sekunder),azas lex loci contractus. Tempat dimana kontrak dilangsungkan atau dibuat, ditutup adalh yang berlaku hukumnya. Dalam hak terdapat perbedaan kualifikasi. Ada sistem –sistem HPI yang meletakkan titik berat dimana dikirimkan penerima penawaran.
(3)   Mengenai benda bergerak atau tidak bergerak
Apakah sesuatu benda seperti misalnya mesin-mesin dari suatu pabrik, meubilair dari suatu hotel dan sebagainya dianggap sebagai benda tidak bergerak. Kualifikasinya berlainan dalam sistem-sistem berbagai negara.
Harta benda perkawinan atau pewarisan
Perbedaan paham mengenai kualifikasi ‘hukum harta benda perkawinan’ atau hukum warisan
Proses kualifikasi fakta ini mencakup langkah-langkah sebagai berikut:

1)      Kualifikasi sekumpulan fakta dalam perkara dan mendefinikasikan peristiwa hukum yang dihadapi itu berdasarkan dan ke dalam kategori/klasifikasi hukum yang sudah ada dalam sistem hukum tertentu [6].
Melalui serangkaian upaya menilai dan menyistematisasi sekumpulan fakta yang dihadapi dalam perkara, orang kemudian mencoba mendeskripsikan atau medenifisikan peristiwa yang dihadapinya sebagai satu atau beberapa peristiwa hukum tertentu.
2)      Kualifikasi sekumpulan fakta yang telah dikualifikasikan tadi dalam kaidah-kaidah hukum yang dianggap harus berlaku ( The Applicable Law )
Beberapa hal yang menyebabkan rumitnya persoalan kualifikasi HPI adalah: [7]
1)      Pelbagai sistem hukum menggunakan termonologi hukum yang sama atau serupa, tetapi untuk menyatakan hal yang berebeda
2)      Pelbagai sistem hukum mengenal konsep/lembaga hukum tertentu yang ternyata tidak dikenal dalam sistem hukum lain
3)      Pelbagai sistem hukum menyelesaikan perkara-perkara hukum yang secara faktual sama, tetapi dengan menetapkan katagori yuridik yang berlainan
4)      Pelbagai sistem hukum mensyaratkan sekumpulan fakta yang berbeda-beda untuk menetapkan adanya suatu peristiwa hukum yang pada dasarnya sama
5)      Pelbagai sistem hukum menempuh proses/prosedur yang berbeda-beda untuk mewujudkan atau menerbitkan hasil atau status hukum yang pada dasarnya sama.

Kasus Anton vs Bartolo (The Maltase Marriage Case-1889)
Pokok perkara
1)      Sepasang suami istri warga negra Inggris bedomisili di Malta (jajahan Inggris) dan melangsungkan pernikahan mereka di Malta
2)      Setelah pernikahan, mereka pindah tetap dan berdomisili di Aljazair (jajahan Prancis) dan memperoleh lewarganegaraan Prancis
3)      Semasa hidupnya di Prancis, sumi membeli sebidang tanah produktif di Prancis
4)      Suami meninggal dunia dan setelah itu istrinya menuntut ¼ bagian dari hasil produksi tanah
5)      Perkara diajukan di pengadilan Prancis (Aljazair)
Beberapa titik tau (connecting factors) yang tampak diantara sekumpulan fakta diatas menunjukkan bahwa:
1)      Inggris (Malta) adalah locus celebrationis[8] sehinga hukum Inggris relevan terhadap kasus ini lex loci celebrationis.
2)      Prancis (Aljazair) adalah domicilli setelah perkawinan (matrimonial domicile), kewarganegaraan setelah mereka pindah, situs dimana benda (tanah) terletak, dan tempat perkara diajukan. Oleh karena itu, hukum Prancis relevan terhadap perkara ini, secara berurutan, sebagai lex domicilli matrimonium, lex patriae, lex situs dan lex fori.
Proses perkara penyelesaian
·         Perkara adalah perkara HPI karena adanya unsur asing antara fakta-fakta perkara dan karena itu hakim harus menetapkan hukum apa yang harus diberlakukan (lex cause)
·         Hakim melihat, baik dalam hukum Inggris maupun hukum Prancis adanya dua kaidah HPI yang pada dasarnya sama, yaitu bahwa :
§  Masalah pewarisan tanah harus tunduk pada hukum dimana tanah terletak, bedasarkan asas lex rei sitae.
§  Masalah tuntutan janda atas hak-haknya terhadap harta perkawinan (matrimonial right) harus diatur oleh hukum dimana para pihak berdomisili pada saat perkawinan diresmikan (lex loci celebrationis)/
Persoalan bagi hakim :
1)      Sekumpulan fakta seperti dalam kasus ini, bagi hukum Prancis (lex fori) harus dikualifikasikan sebagai masalah pewarisan tanah, sedangkan
2)      Bedasarkan hukum Inggris (lex loci celebrationis) perkara semacam ini dikualifikasikan sebagai perkara hak-hak janda atas harta perkawinan (matrimonial right)
3)      Persoalan kualifikasi berdasarkan hukum Prancis (lex fori) atau berdasark hukum Inggris (hukum asing) akan membawa pengarus terhadap proses penyelesaian sengketa sebab hakim menyadari bahwa:
a.      Jika perkara dikualifikasikan sebagai perkara pewarisan tanah (berdasarkan lex fori), kaidah HPI Prancis akan akan menunjukkan kearah hukum intern Prancis sebagai lex cause dan tuntutan akan ditolak sebab berdasarkan hukum Prancis, seorang janda tidak berhak mendapatkan bagian dari harta warisan.
b.      Jika perkara dikualifikasikan sebagai perkara matrimonial right (berdasarkan hukum Inggris), kaidah hukum Prancis akan menunjuk ke arah itern Inggris sebagai lex cause, dan berdasarkan hukum Inggris, tuntutn janda akan dikabulkan sebab berdasarkan hukum itern Inggris seorang janda memiliki hak atas hasil tanah itu sebagai dari harta perkawinan.
Pengadilan Prancis akhirnya menetapkan bahwa perkara dikualifikasikan sebagai masalah harta perkawinan dan memutuskan perkara berdasarkan lex loci celebrationis (hukum Inggris) serta mengabulkan tuntutan janda.
C.      Macam-macam kualifikasi
1.      Kwalifikasi menurut lex fori
Menurut pendirian ini kualifikasi harus dilakukan menurut hukum materiil sang hakim. Pengertian-pengertian yang dihadapi dalam kaidah-kaidah HPI harus dikwalifikasikan menurut sistem hukum negara asing hakim sendiri. Tokoh-tokohnya adalah Franz Kahn (Jerman) dan Bartin (Prancis).
Franz kahn lebih lanjut menyatakan bahwa kualifikasi harus dilakukan berdasarkan lex fori karena ada alasan-alasan :
a.      Kesederhanaan ( simplycity)
Kesederhanaan ( simplycity) sebab jika kualifikasi dilakukan dengan menggunakan lex fori, pengertian, batasan dan konsep-konsep hukum yang digunakan dalam penyelesaian perkara adalah pengertian-pengertian yang paling dikenal oleh hakim.
b.      Kepastian (certainty)
Kepastian (certainty) sebab pihak-pihak yang berperkara akan telah mengetahui terlebih dahulu sebagai peristiwa atau hubungan hukum apakah perkaera mereka akan dikualifikasikan oleh hakim beserta segala kosekuensi yuriknya.
Teori kualifikasi lex fori dianggap memiliki keunggulan karena dapat menyebabkan perkara lebih mudah diselesaikan, mengingat digunakannya konsep-konsep hukum lex fori yang paling dikenal oleh hakim. Dilain pihak kelemahan teori ini adalah kemungkinan terjadinya ketidakadilan kerena kualifikasi adakalanya dijalankan dengan menggunakan ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai dengan sistem hukum asing seharusnya diberlakukan atau bahkan dengan menggunakan ukuran-ukuran yang tidak dikenal sama sekali oleh sistem hukum tersebut.
Contoh kasus dalam kualifikasi lex fori : ogden vs Ogden (1908)
Kasus posisi
a.      Philip, pria warga negara Prancis, berdomisili di Prancis, dan berusian 19 tahun.
b.      Philip menikah dengan sarah (wanita) yang berwarganegaraan Inggris
c.       Pernikahan Philip dan Sarah dilangsungkan dan diresmikan di Inggris (tahun 1898)
d.      Philip menikah dengan Sarah tanpa izin orang tua Philip. Izin orang tua ini diwajibkan oleh hukum Prancis ( Pasal 148 Code civil)
e.      Pada tahun 1901 Philip pulang ke Prancis dan mengajukan permohonan dipengadilan Prancis untuk pembatalan perkawinannya dengan Sarah dengan alasan bahwa perkawinan itu dilangsungkan tanpa izin orang tua
f.        Permohonan dikabulkan oleh pengadilan Prancis dan Philip kemudian menikah dengan seorang wanita Prancis di Prancis
g.      Sarah kemudian menggugat Philip di Inggris karena Philip dianggap melakukan perzinaan dan meninggalkan istrinya terlantar. Gugatan itu ditolak karena alasan yuridiksi
h.      Pada tahun 1904, Sarah sudah merasa tidak terikat dalam perkawinan denga Philip, kemudian menikah kembali dengan Odgen dilangsungkan di Inggris.
i.        Pada tahun 1906 Odgen menggangap bahwa Sarah masih terikat dengan perkawinan dengan Philip karena berdasarkan hukum Inggris perkawinan Philip dan Sarah belum dianggap batal karena keputusan pengadilan Prancis tidak diakui di Inggris
j.        Odgen kemudian mengajukan pembatalan perkawinan dengan Sarah, dengan dasar hukum bahwa istrinya telah berpoligami
k.       Permohoan diajukan di pengadiolan Inggris
Proses penyelesaian sengketa
1)      Untuk menerima atau menolak Odgen, maka hakim harus menentukan  terlebih dahulu apakah perkawinan Philip dengan Sarah adalah sah atau tidak. Dalam hal titik-titik tau menunjuk ke arah hukum Inggris sebagai hukum dari tempat peresmian perkawinan dah hukum Prancis karena salah satu pihak (Philip) adalah pihak yang berdomisili di Prancis
2)      Pokok perkaranya mengenai izin orang tua sebagai persyaratan perkawnan terutama dalam menetapkan apakah Philip memang memiliki kemampuan hukum untuk menikah.
3)      Kaidah HPI Inggris menetapkan
a.      Persyaratan esential untuk sahnya perkawinan, temasuk persoalan kemampuan hukum seseorang pria untuk menikah harus daiatur dalam lex domicili ( menunjuk pada hukum Prancis)
b.      Persayaratan formal untuk sahnya perkawinan harus tunduk pada hukum dari tempat peresmian perkawinan 9lex leci celebrationis). Jadi dalam halini menunjuk hukum Inggris
c.       Karena hakim pertama-tama menunjuk arah hukum Prancis sebagai lex cause, untuk menentukan kemampuan  hukum A untuk menikah, pada tahap ini didasari bahwa berdasarkan Pasal 148 Code civil Prancis dapat disimpulkan laki-laki yang belum berusian 25 tahun tidak dapat menikah, apabila tidak diizinkan oleh orangtuanya. Dengan demikian berdasarkan hukum intern Prancis, tidak adanya izin orang tua harus menyebabkan batalnya perkawinan antara Philip dan Sarah.
4)      Dalam kenyataan, hukum Inggris memutus perkara dengan cara berpikir sebagai berikut:
a.      Perkawinan antara Philip dan Sarah dinyatakan tetap sah karena “izin orang tua” dikualifikasikan berdasarkan hukum Inggris (lex fori).
b.      Berdasarkan penyimpulan diatas, perkawinan antara Sarah dan Odgen dianggap tidak sah karena salah satu pihak Sarah dianggap masih terikat perkaiwinan dengan Philip dan karena itu dianggap poligami
c.       Karena itu, permohonan Odgen kemudian dikabulkan dan perkawinan Odgen dan Sarah dibatalkan oleh pengadilan Inggris

2.      Teori kualifikasi lex causae (Lex fori yang diperluas)
Kualifikasi dilakukan menurut sistem hukum darimana pengertian ini berasal [9]. Menurut pandangan ini, jika seandainya dalam persoalan HPI, hakim negara X tiba-tiba pada kesimpulan bahwa hukum Y yang harus diperlakukan, maka kaidah-kaidah HPI dipersoalkan harus dikualifisir menurut huku Y. Yang mengedepankan teori ini adalah Wolff. Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk menentukan kaidah HPI mana dari lex fori yang paling erat kaitannya dengan kaidah hukum asing yang mungkin diberlakukan. Penentuan ini harus dilakukan dengan mendasarkan diri pada hasil kualifikasi yang dilakukan dengan memerhatikan sistem hukum asing yang bersangkutan. Setelah katagori yuridik dari suatu peristiwa hukum ditetapkan dengan cara itu, barulah dapat ditetapkan kaidah HPI yang mana dari lex fori yang akan digunakan untuk menunjuk ke arah lex cause.
Contoh kasus kualifikasi lex cause adalah De Nicols vs Curlier
Kasus posisi
a.      Kasus menyangkut sepasang suami istri berkewarganegaraan Prancis
b.      Pernikahan mereka diresmikan di Prancis
c.       Ketika pernikahan dilangsungkan pada tahun 1854, kedua pihak ini tidak membuat perjanjian/kontrak harta perkawinan
d.      Setelah pernikahan, mereka pindah ke Inggris: suami meninggal dunia di Inggris dengan meninggalkan testamen yang dibuat secara sah di Inggris
e.      Isi testamen ternyata mengabaikan semua hak istri ayas harta perkawinan
f.        Istri kemudian mengajukan gugatan terhadap testamen dan menuntut haknya atas harta bersama
g.      Gugatan tersebut diajukan di pengadilan Inggris
Jalannya proses penyelesaian perkara
a.      Perkara dikualifikasikan sebagai perkara tetang perwarisan testamen atau kontrak tentang harta perkawinan. Hakim Inggris kemudian mengkualifikasikan perkara sebagai perkara tentang pewarisan testamenter karena pada saat menikah, mereka tidak membuat kontrak mengenai harta kekayaan mereka
b.      Berdasarkan kaidah hkum intern Inggris, status kepemilikan atas benda-benda bergerak sepasang suami istri harus diatur dengan sebuah kontrak
c.       Kaidah HPI Inggris menetapkan jika kontrak semacam ini tidak ada, status kepemilikan ats benda-benda itu harus diatur berdasarkan ex loci celebrationis
d.      Karena kaidah HPI menunjuk ke arah hukum Prancis (sebagai lex loci celebrationis), maka hakim melihak arah Code civil Prancis.
Hakim kemudian menyimpulkan bahwa tidak ada kontrak dibuat secara tegas  pada saat para pihak menikah di Prancis. Tidak adanya kontrak secara tegas untuk berpisah harta, yang dibuat bedasarkan commuaute des biens dikualifikasikan oleh hakim sebagai perjanjian diam-diam untuk bercampur harta. Jadi hakim meluaskan konsep kontrak perkawinan yang dikenal dalam lex fori dengan menggunakan konsep harta bersama yang dikenal dalam hukum asing (Prancis).
3.      Kualifikasi secara otonom
Kualifiaksi ini berdasarkan methodos comparative (perbandingan hukum). Tokoh dari teori ini adalah Ernst Rabel (Jerman) dan Beckett ( Inggris). Teori ini pada dasarnya bertitik tolak dari penolakan mereka terhadap asumsi yang melatarbelakangi suatu kaidah HPI itu hanya hukum intern dari forum. Menurut penganut teori ini, dalam tindakan kualifikasi terhadap kumpulan fakta harus dilakukan secara terlepas dari kaitannya pada suatu sistem hukum lokal/nasional tertentu (besifat otonom). Artinya, dalam HPI seharusnya dikembangkan konsep-konsep (begrip) hukum yang khas dan dapat berlaku secara umum serta mempunyai makna yang sama dimanapun di dunia.
4.      Kualifikasi primer dan sekunder
1)      Kwalifikasi secara primer
Kwalifikasi secara primer atau “Qualifikation ersten Grades,[10]) (primary classification , qualificate in de eerste graad) adalah kualifikasi yang diperlukan untuk dapat menentukan hukum yang harus dipergunakan. Untuk dapat menentukan hukum asing manakah yang dipergunakan harus dilakukan kualifiasi menurut kaidah-kaidah HPI dari lex fori. Kaidah-kaidah HPI dari lex fori ini harus di kualifikasi menurut hukum materiil dari Hakim.
2)      Kwalifikasi secara sekunder
Apabila sudah mengetaui hukum asing manakah yang harus dipergunakan, maka perlu dilakukan kualifikasi lebih jauh menurut hukum asing yang sudah dikemukan itu. Kwalifikasi semacam ini dinamakan kualifikasi sekunder atau “ Qualikation zweten Grades” ( secondary classification, secundaire qualificatie, qualificatie in de tweede graad). [11]). Jika sudah ditentukan hukum asing manakah yang harus dipergunakan dalam hukum inilah yang dipakai. Pengertian-pengertian hukum yang dipergunakan dalam hukum asing itu harus ditafsirkan menurut pengertian-pengertian yang berlaku dalam hukum asing bersangkutan. Jika tidak lagi lex fori sang hakim.
5.      Pengecualian- pengecualian terhadap pemakaian kualifikasi lex fori
a.      Kualifikasi kewarganegaraan tidak dilakukan menurut hukum dari forum hakim.
b.      Kualifikasi mengenai “bergerak atau tidak bergerak” suatu benda ditentukan oleh “lex rei sitae” (lex situs)
c.       Kualifikasi suatu kontrak menurut “maksud para pihak “ bidang perjanjian, maka pihak-pihak adalah bebas menentukan sendiri hukum yang mereka kehendaki.
d.      Kualifikasi dari “perbuatan melanggar hukum”
e.      Jika ada persetujuan-persetujuan antara negara” berupa konvensi-konvensi mengenai kaidah-kaidah HPI, maka pengertian-pengertian dalam persetujuan-persetujuan internasional itu. Kualifikasi ini dilakukan secara terlepas dari lex fori masing-masing negara peserta.
f.        Kualifikasi pengertian-pengertian yang digunakan oleh makamah-makamah internasional dilakukan menurut ketentuan-ketentuan umum yang berlaku untuk makamah-makamah interasional bersangkutan .


















[1] a.l Arminjon I, 187 dan seterusnya
[2] a.l Castel, Cases, 164
[3] a. l Falconbridge, 50 dan seterusnya
[4] a.l Raape , 107 dan seterusnya
[5] a.l Van Brakel , 53 dan seterusnya.
[6] Biasanya kualifikasi dalam arti ini dijalankan dengan merujuk ke arah klasifikasi hukum yang dikenal di dalam hukum dari forum yang mengadili perkara (lex fori)
[7] Bandingkan dengan :Sunaryati Hartono, pokok-pokok hukum perdata internasional, Binacipta, h. 70 dan Cramton, Roger, conflict of lawa-cases-comments-question, west, 1987, h. 70 dst.
[8] Locus celebrationis adalah tempat dimana perkawinan diresmikan sehingga hukum dari tempat itu (d.h.i hukum Inggris) menjadi lex loci celebrationis.
[9] Bdgk. Wolff, 154 :” it is therefore preferable to start from view that every legal rule takes its classification from the legal system to which it belongs”.
[10] Bdgk. Niederer, 239.
[11] Van Brakel, 62.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar