Jumat, 12 Desember 2014

CONTOH KASUS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL



CONTOH KASUS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
1.      Kasus kualifikasi
Kasus IPB dan Amerika serikat
Fakta
IPB melakukan perjanjian untuk mengirim 800 kera ke Amerika, Kera tersebut hanya akan diambil anaknya saja dan babonnya akan dikembalikan ke Indonesia. Harga perekor disepakati sebesar 80 (delapan puluh) juta dan pihak amerika serikat hanya membutuhkan anaknya saja dan harus beranak di Amerika serikat. Ketika posisi pesawat masih di swiss, seekor monyet stress dan lepas,melahirkan anaknya. Karena induknya telah dilumpuhkan dan mati, maka dokter hewan IPB menyuntik mati anak monyet tersebut karena pertimbangan rasa kasihan . Lawyer Amerika serikat menuntut IPB atas dasar perlindungan satwa dan dianggap tak memenuhi prestasi dengan sempurna serta membunuh seekor anak monyet. Disati sisi, Kera di Indonesia tidak lebih sebagai hama, sedangkan bagi Amerika serikat merupakan satwa yang harus mendapat perlindungan.
Jawab
1)      Forum yang berwenang
Ø  Pengadilan mana yang berwenang mengadili kasus ini? Yaitu pengadilan bogor karena sesuai dengan prinsip actor sequitor forum rei yaitu gugatan diajukan ke pengadilan, tempat dimana tergugat bertempat tinggal. Karena tergugat (IPB) bertenpat tinggal di Bogor, maka forum yang berwenang harus di tempat tinggal tergugat
Ø  Titik taut primer adalah factor-faktor/keadaan yang menciptakan hubungan HPI dalam kasus ini yang merupakan titik taut primer harus dilihat/ditinjau dari pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa ini. Menurut pandangan PN bogor perkara ini adalah perkara HPI karena ada unsure asingnya yaitu pihak penggugat berkewarganegaraan Amerika.



Kasus ini termasuk kualifikasi hukum perjanjian dan perbuatan melawan hukum.
Ø  Kualifikasi hukum perjanjian karena mengenai wanprestasi dari pihak IPB (jumlah kera yang dikirim menjadi berkurang satu adalah yang seharusnya 800 ekor kera.)
Ø  Kualifikasi perbuatan melawan hukum, karena pihak IPB menyuntik anak monyet sampai mati, kera menurut amerika serikat merupakan satwa yang harus/mendpat perlindungan. Sehingga perbuatan IPB menyuntik mati anak kera diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum.
2)        Titik taut sekunder yaitu titik taut/factor-faktor/keadaan-keadaan yang menentukan hukummana yang harus diberlakukan
Ø  Dalam kasus ini, titik taut sekunder untuk klasifikasi perjanjian karena dalam perjanjian yang dibuat oleh IPB dengan amerika serikat tidak ada pilihan hokum maupun pilihan forum, maka yang menjadi titik taut sekundernya bisa ada beberapa antara lain
Ø  Lex loci contractus
Ø  Lex loci solusionis
Ø  The proper law of the contract , Digunakan untuk mengedepankan apa yang dinamakan “intention of the parties” hokum yang ingin diberlakukan untuk perjanjian tersebut karena dikehendaki oleh para pihak ybs. Hukum yang dikehendaki itu bisa dinyatakan secara tegas yaitu dicantumkan dalam perjanjian, bisa pula tidak dinyatakan secara tegas
Ø  apabila ditegaskan keinginan para pihak,maka hukum yang diberlakukan adalah yang ditegaskan
Ø  apabila tidak ditegaskan,maka harus disimpulkan oleh pengadilan dengan melihat pada isi perjanjian, bentuknya unsure-unsur perjanjian maupun kejadian-kejadian/peristiwa-peristiwa disekelilingnya yang relevan dengan perjanjian tersebut.
Ø   The most characteristic connection adalah untuk menentukan hokum mana yang berlaku adalah hokum dari Negara dengan mana kontrak bersangkutan mempunyai prestasi yang paling kuat

3)      LEX CAUSE  hukum yang dipakai untuk menyelesaikan perkara
Ø  Apabila perjanjian dibuat di Indonesia maka berdasarkan lex loci contractus, maka hokum Indonesia yang dipakai. Tetapi kalau perjanjian dibuat di Amerika serikat, maka hokum amerika serikat yang dipakai.
Ø  Berdasarkan lex loci solusionis. Apabila isi perjanjian dilaksanakan di Indonesia, maka hokum Indonesia yang dipakai, apabila isi perjanjian dilaksanakan di Amerika serikat,maka hokum AS yang dipakai.
Ø  Berdasarkan the most characteristic connection, aka hokum yang berlaku adalah Hukum Indonesia karena yang melakukan prestasi paling kuat/paling dominan adalah IPB sebagai penjual kera, karena IPB yang harus menyerahkan kera,merawat dan menjaga kera dengan baik sampai nanti kera diserahkan kepada pihak amerika serikat.
2.      Kasus Ketertiban Umum
Kasus E.D. &F. Man Sugar Ltd v. Yani Haryanto
Pertama, Mahkamah Agung untuk pertama kalinya memberikan eksekutur terhadap putusan arbitrase asing sejak MA mengeluarkan PERMA 1/1990. Kedua, dalam waktu yang tidak terlalu lama penetapan MA tentang pemberian eksekuatur itu kemudian dibatalkan sendiri melalui putusan kasasi. Kasus ini dikenal dengan sebutan “Kasus Gula” karena objek sengketa tersebut memang mengenai jual beli gula.Selengkapnya rangkaian perjalanan permohonan eksekusi putusan arbitrase London dalam perkara antara E.D. & F.MAN (SUGAR)Ltd., melawan Yani Haryanto, dapat disimak berikut ini.Pada tahun 1982 pengusaha Indonesia Yani Haryanto bertindak sebagai pembeli mengadakan perjanjian jual beli gula denganeksportir Inggris E.D. & F, Man Sugar Ltd. Sugar quay London, sebagai penjual. Perjanjian tersebut dituangkan dalam dua bentuk kontrak dagang, yaitu:
1)      Contract for White Sugar No. 7458, tanggal 12 Februari 1982.
 untuk jual beli gula sebanyak 300.000 metrik ton;
2)       Contract for White Sugar No. 7527, tanggal 23 Maret 1982untuk jual beli gula sebanyak 100.000 metrik ton.
Kedua kontrak tersebut ditandatangani oleh kedua belah pihak pada bulan Februari dan Maret 1982. Dalam kedua kontrak di atas parapihak bersepakat bahwa segala sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian jual beli gula ini, kedua belah pihak sepakat diselesaikan oleh suatu “Dewan Arbitrase Gula” atau yang disebut “The Council of the Refened Sugar Association” yang berkedudukan di London berdasarkan ketentuan dalam The Rules of the Refened – Sugar Association Relating to Arbitration.
3.      Kasus Penyelundupan Hukum
Kasus Eddy Maliq Meijer lahir pada April 2007 merupakan anak dari perkawinan campuran dari ayahnya Frederik J Meijer yang berkewarganegaraan Belanda dan ibunya Maudy Koesnaedi yang warga Negara Indonesia juga merupakan subjek hukum.
Dalam kasus Eddy, terjadi perkawinan campuran antara ayahnya Warga Negara Belanda dan ibunya Warga Negara Indonesia. Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa. Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena berbagai factor, antara lain : faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dll maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup terpisah . Pengaturan di Indonesia Menurut UU No.62 tahun 1958 Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 : “Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.” Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing . Dalam kasus Eddy yang telahir dari hasil perkawinan campuran ibunya Warga Negara Indonesia dan Ayahnya Warga Negara Belanda, anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian antara orang tua Eddy, akan sulit bagi Maudy sebagai ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan. Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya. Di dalam Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut: Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
a.       Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
b.       Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
c.       Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda ataupun tanpa kewarganegaraan. Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang Berdasarkan UU ini Eddy yang merupakan anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA diakui sebagai warga negara Indonesia. Eddy akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah dia berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Namun pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi, dalam kasus ini antara Indonesia dan Belanda. ANALISIS. Pengaturan baru. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia memberi peraturan baru yang positif karena secara garis besar Undang-undang baru ini memperbolehkan dwi kewarganegaraan yang terbatas dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dari perkawinan campuran. Permasalahannya adalah menyangkut dwi kwarganegaraan pada anak, jika nantinya anak menganut terus dwi kewarganegaraanya maka harus ada penyelundupan hukum jika anak tersangkut suatu kasus pada suatu negara. Dan apakah ketika anak mendapatkan permasalahan hukum nantinya ada perlindungan dari negara dimana ia tinggal, karena menyangkut mengenai dwi kewarganegaraan.

 

   




TUGAS HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
RANGKUMAN KULIAH


Description: D:\documen\fd\Trisakti_Logo.svg.png








DISUSUN OLEH :
NAMA : YUNI DAMAYANTI
NIM     : 01012485



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI





HAK-HAK YANG TELAH DIPEROLEH



HAK-HAK YANG TELAH DIPEROLEH
A.      Pendahuluan
Istilah ‘hak-hak yang diperoleh’[1] sering kali disebut dengan right and obligation created abroad atau hak dan kewajiban hukum yang terbit berdasarkan hukum asing. Yang menjadi persoalan HPI dalam kaitan ini adalah hak dan kewajiban hukum yang dimiliki seseorang berdasarkan kaidah-kaidah hukum dari sistem hukum asing tertentu harus diakui atau tidak oleh lex fori[2].  Hak-hak yang diperoleh ini semata-mata dipandang sebagai peluasan daripada lausula ordre public.
B.      Hubungan dengan ketertiban Umum
Dalam ketertiban umum hukum perdata nasional sang hakim yang dipakai menurut kaidah HPI sang hakim sendiri kaidah-kaidah hukum perdata asing yang harus dipergunakan. Ajaran ‘hak-hak yang telah diperoleh’, bukan hukum asing yang dikesampingkan justru hukum asing inilah yang diakui dan dipergunakan. Prinsip “hak-hak yang telah diperoleh” dapat dipergunakan untuk memperbaiki atau memperlembut pelaksanaan prinsip ketertiban umum.
Dalam hal ini azas reprositas (timbal balik) perlu diperhatikan. Seperti dalam ketertiban umum tidak terlalu cepat kita pakai azas ini demi reprositas dengan negara-negara lain. Demikian pula dengan hak-hak yang telha diperoleh. Jika suatu negara kurang memerhatikan hal pelanjutan keadaan hukum terhadap negara lain, maka negara lain juga tidak dapat diharapkan akan memerhatikan hal kelanjutan keadaan hukum dari pada negara pertama ini[3]. Pengakuan prinsip hak-hak yang diperoleh ini hanya dapat dihentikan jika hak-hak yang telah diperoleh di luar negri akan mengakibatkan tersinggungnya perasaan keadilan dari rakyat sang hakim, sehingga keadaan hukum itu tidak dapat dipertaanggungkan.


C.      Perkembangan di negara-negara Anglo-Saxon
Ada pembatasan dari hak yang telah diperoleh, yaitu bahwa badab peradilan Inggris tidak akan memberikan akibat pelaksanaan kepada suatu hak sekalipun setelah diperoleh dengan “duly” sebagai penduduk asing, jika terjadi hal-hal berikut:
a.      Pelaksanaan hak bersangkutan adalah bertentangan dengan Undang-undang yang dikeluarkan oleh Parlemen, Undang-undang mana dimaksudkan untuk mempunyai kekuatan extraterritorial.
b.      Jika pelaksanaan hak itu adalah bertentangan dengan jiwa perundang-undangan Inggris, melanggar moral dari perundang-undangan Inggris atau melawan lembaga-lembaga politik Inggris
c.       Jika hak-hak ini melampaui wewenang dan kekuasaan negara asing yang sebenarnya terbatas kepada wilayahnya sendiri, ,misalnya hak yang bersangkutan dengan benda tidak bergerak terletak di Inggris.
d.      Jika hak ini mengenai ketentuan hukum acara
e.      Jika hak ini merupakan hasil daripada perbuatan-perbuatan yang tidak sah menurut hukum dari negara dimana perbuatan itu dilakukan, tetapi tidak dianggap demikian menurut ketentuan Inggris atua sebaliknya.
D.     Perkembangan di Nederland
Dalam pandangan para sarjana HPI Belanda teori tentang hak-hak yang diperoleh juga diterima pada umumnya. Van Brakel menyatakan bahwa harus diadakan pengakuan terhadap hak-hak yang telah tercipta di luar negri. Tanpa pengakuan itu tidak akan mungkin dibina hubungan lalu lintas internasional. HPI tidak akan berkembang. Pengakuan hak-hak yang telha diperoleh di tempat lain merupakan salah satu pikiran yang fudamentil. Pengakuan daripada status personil orang asing, pemakaian daripada lex rei sitae, untuk barang-barang, pengakuan darpada sahnya suatu perbuatan yang sesuai dengan syarat formil di luar negri, semua dianggap disandarkan pada “azas” “hak-hak yang telah diperoleh”.


E.      Perkembangan di Indonesai mengenai hak-hak yang diperoleh
Dalam ketentuan pasal 16 A.B jo pasal 3 A.B yang menganut prinsip nasionalitas, dapat dilihat adannya unsur “pelanjutan keadaan” . dalam pasal ini dipergunakan dari peraturan-peraturan mengenai status dan wewenang warganegara Indonesia yang berada di luar negri.
Juga dalam pasal 17 A.B yang menganut asas “lex rei sitae” pada pokoknya berdasarkan pula atas prinsip “kelanjutan keadaan hukum”.



[1] Beberapa istilah yang digunakan orang : verkregen rechten (Belanda), vested right (Inggris), droit acquis (Prancis)
[2] Sunaryati Hartono, id, hh. 111 dan 112
[3] Contoh ini dari Wirjono Prodjodikoro, halaman 41 dan seterusnya

PENYELUNDUPAN HUKUM



PENYELUNDUPAN HUKUM
A.      Hubungan dengan Ketertiban Umum
Ketertiban umum dan penyelundupan hukum mempunyai hubungan yang erat. Kedua-keduanya bertujuan agar supaya hukum nasional dipakai dengan mengenyampingkan hukum asing. Hukum asing dinyatakan tidak berlaku jika dipandang sebagai penyelundupan hukum. Kedua-keduanya hendak mempertahankan hukum nasional terhadap kaidah-kaidah hukum asing[1]. Perbedaan antara ketertiban umum dan penyelundupan hukum adalah bahwa pada yang pertama kita saksikan bahwa pada umumnya suatu hukum nasional dianggap tetap berlaku, sedangkan dalam penyelundupan hukum kita, hukum nasional tetap berlaku itu dan dianggap tepat pada suatu periwtiwa tertentu saja, yaitu ada seseorang yang untuk mendapatkan berlakunya hukum asing telah melakukan tindakan yang bersifat menghindarkan pemakaian hukum nasional itu. Jadi hukum asing dikesampingkan karena penyelundupan hukum, akan mengakibatkan bahwa untuk hal-hal lainnya akan selalu boleh dipergunakan hukum asing itu. Dalam hal-hal khusus, kaidah asing tidak akan dipergnakan karena hal ini dimungkinkan (pemakaian hukum asing ini) oleh cara yang tidak dapat dibenarkan.
B.      Penyelundupan hukum dan hak-hak yang diperoleh
Lembaga penyelundupan hukum dapat juga dilihat dalam hubungannya dengan masalah “hak-hak yang diperoleh”. Bahwa penyelundupan hukum justru bertentangan dengan hak-hak yang diperoleh[2]. Karena pada penyelundupan hukum kaidah-kaidah asing dikesampingkan dan hukum nasional di[ergunakan. Tetapi pada “hak-hak yang diperoleh” justru hak-hak itu telah diperoleh menurut hukum asing diakui dan dihormati oleh hukum nasional hakim sendiri.



C.      Contoh-contoh
a)      Perkawinan
a.      Perkawinan gretna Green
Greetna green adalah sebuah desa yang terletak di Skotlandia. Merupakan tempat dimahna berlangsungnya pernikahan bagi orang-orang Inggris yang tidak memiliki persetujuan orang tua. Terkenal dengan sebutan “ The Blacksmith of Gretna Green” yaitu hakim perdamaian dihadapan siapa harus diucapkan untuk menikah.
b.      Perkawinan orang-orang dari Indonesia di Penang atau Singapura
Dalam praktek hukum Indonesia dikenal dengan larangan untuk menikah kembali bagi pihak perempuan yang telah bercerai sebelum 300 hari lewat. Akan tetapi mereka dapat melangsungkan penikawinan sebelum 300 hari lewat, mereka melakukan pernikahan di Pinang atau Singapura, karena Singapura menganut hukum Inggris dimana hukum Inggris tidak ada dikeneal jangka waktu masa idah 300 hari lewat.
c.       Perkawinan untuk memperoleh kewarganegaraan
Penyelundupan hukum dapat juga dilangsungkan untuk mencoba memperoleh kewarganegaraan suatu negara atau untuk menggelakkan bahaya pengusiran atau hal lain keuntungan-keuntungan tertentu dan sebagainya.
D.     Contoh-contoh perceraian
a)      Perceraian dan perkawinan a la Zevenburgen
Di dalam beberapa negara tidak mengenal adanya lembaga perceraian, demikian juga di dalam Negara Italia atau Austria dahulu sebelum 1938. Menurut paragraph III dari B.G.B Australia dulu perkawinan hanya dapat diputuskan antara orang beragama katholik karena meninggalnya salah satu pihak. Jika warganegara Austria yang beragama katholik mau bercerai makan mereka pergi ke Hongaria. Dengan cara:
1)      Mereka memperoleh satu keputusan cerai dari meja dan tempat tidur dari badan peradilan Australia
2)      Kemudian mereka melakukan natrulisasi menjadi warganegara Hongaria
3)      Disusul dengan menjadi anggota dari suatu jamaat Protestan di Zevenburgen.
4)      Setelah itu didapatkan putusan cerai meja dan tempat tidur a la Austria diubah menjadi keputusan cerai yang difinitif oleh badan peradilan gerejami di Klausenburg.
Oleh makamah agung Austria pada tahun 1907 diakui sah perkawinan-perkawinan baru demikian terlebih dahuku dilakukan perceraian. [3]
b)      Naturalisatie Estlandia
Seorang pria warganegara Belanda v.A telah menikah di Cirebon dengan seorang perempuan Belanda[4]. Pada saat mereka mau bercerai menurut B.W alasan mereka untuk bercerai belum cukup alasan, karena hanya dapat menghasilkan suatu keputusan hidup terpisah meja dan tempat tidur. Estlandia terkenal sebagai negara yang mudah dilangsungkan perceraian. Maka dari itu, v.A menjadi warganegara Estlandia juga satu negara Batlik. Bahwa van.A bersedia untuk melakukan naturalisasi menjadi warganegara Estlandia. Ia mengajukan permohonan naturalisasi bulan Juni 1933 dalam waktu singkat tanggal 9 September 1933 permohonannya dikabulkkan. Ia menjadi warganegara Estlandia. v.A memperoleh keputusan cerai dari Pengadilan di Riga, Letlandia, pada tanggal 6 Maret 1934 dengan alasan ia hidup terpisah selama 3 tahun berpisah dengan istrinya. Kemudian v.A menikah lagi yang dilangsungkan di Edinburgh, Scotlandia. Istri pertama v.A tidak mengetahui bahwa suamianya telah menceraikannya.
Hakim di Netherland memandang perceraian yang telah dilakukan sah adanya dan juga perkawinan keduanya. Walaupun pengadilan Belanda berpendapat naturalisasi Estlandia dilakukan secara penyelundupan hukum. Pihak istri pertama menuntut ke Rechtbank Amsterdam supaya perkawinan yang dilakukan di Edinburgh dinyatakan batal dan supaya pendaftaran perkawinan baru dalam daftar perkawinan di Netherland dihapuskan.
c)      Peristiwa Putri de Bauffermont
Seorang puti yang asalnya berkewarganegaraan Belgia karena perkawinan dengan seorang Prancis telah menjadi warganegara Prancis. Ia menuntuk perceraian tetapi pada saat itu di Prancis tidak ada peradilan perceraian (sebelum 1884). Dia hanya dapat memperoleh keputusan hidup pisah meja dan tepat tidur dari hakim Prancis. Kemudian putri melakukan naturalisasi di Saxen-Altenburg, maka dari itu dia menjadi warganegara Jerman, di Jerman di meminta perceraian di kabulkan. Setelah itu dia menikah kembali dengan Prins Bibesco seseorang warganegara Rumania. Pihak suami yang pertama mengajukan tuntutan kehadapan hakim Prancis. Kemudian menentukan bahwa perkawinan yang pertama masih berlaku sah. Hukum Belgia menganggap perceraian sah dan pula perkawinan keduanya. Tetapi hakim banding di Belanda memberi putusan yang sama dengan hakim Jerman.
Sebaliknya di Jerman perkawinan keduanya diakui sah. Hakim Prancis menganggap tidak sah percerain ini karena dikatakan bahwa naturalisasi yang dilakukan tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Hanya ingin meloloskan diri dari hukum yang berlaku secara memaksa baginya.
d)      Peristiwa Helene Bohlau
Helene Bohlau, seorang evangeliste. Seorang pria tanpa kewarganegaraan yang dilahirkan di Petersburg, telah menikah pada tahun 1863 di Helgoland (wilayah Inggris) dengan seseorang wanita Saksen yang dilahirkan juga di Petersburg pada tahun 1884. Kemudian mereka bertempat tinggal di Berlin dan mempunyai seorang anak. Pada tahun 1886 sang suami pergi ke kota Konstatinopel disertai evangelist Helene Bohlau. Disana pria tersebut masuk Islam dan menjadi warganegara Turki. Karena berubahnya agama pria tersebut maka perkawinannya bubar. Pada akhir tahun 1886 ia mengirim surat tak ke alamat istrinya di Berlin dan tahun 1887 ia menikah dengan Helene Bohlau di Konstatinopel dan kembali ke Jerman dimana ia hidup bersama di Munchen sejak 1888.
Setelah tahun 1900 istri pertama mengajukan gugatan agar perkawinan pertamanya masih dianggap sah, diajukan ke Oberlandesgericht di Muncen dan kemudian kembali lagi ke Bayerische Oberste Landesgericht serta kembali lagi ke Oberlandesgericht di Muncen. Dalam keputusan yang pertama Oberlandesgericht  Muncen menolak untuk menerima perceraian secara surat talak, karena dianggap bertentangan dengan ordre public pasal 30 EGBGB. Akan tetapi Bayerische Oberste Landesgericht menanggap pendirian ini kurang tepat tidak pertentangan dengan ordre public. Kemudian OLG Munchen juga menolak adanya pelanggaran ketertiban umum dan tuntutan dari pihak istri yang pertama.


e)      Peristiwa Nyonya Mr. I. Tj
Nyonya Mr. I. Tj seorang perempuan Belanda J.M.R telah menikah dengan Mr. I. Tj, seorang pengacara Indonesia yang terkenal. Perkawinan mereka dilangsungkan dihadapan penghulu di Bandung. Sebelum penerikahan dilangsungkan terlebih dahulu perempuan J.M.R tersebut telah menyatakan masuk agama islam. Pihak istri ternayata hendak melepaskan diri dari hubungan perkawinan, tetapi suami tidak memberikan surat talak.
Istrinya pergi ke Labuhan Balik di Prapatan Panel dan meninggalkan suaminya itu. Kemudian di Prapatan Panel melakukan murtad dari agama islam. Dengan cara ia mengucapkan ikrar di depan Tengku Sutan, Raja Negri Panel serta dihadapa Gedelegeerde Gezaghebber di situ. Setelah itu ia menghadap kepada Raad Agama Kerapatan Beasar Negri Panei untuk menguatkan lebih lama dalam hubungan perkawinan denga Mr. I. Tj karena sudah melakukan murtad itu
Tenyata J.M.R ini memang ingin menikah lagi dengan seseorang dan tidak lama kemudian ia menghadap kepada pegawai Burgerlijke Stand di Surabaya dengan permohonan untuk dapat melangsungkan perkawinan baru, kali ini dengan seorang pria R.P.D seorang Belanda, ia dilahirkan di Belanda.
f)       Peristiwa De Ferrari
Ny. Ferarri melepaskan diri dari ikatan perkawinan dengan melakukan naturalisasi kembali menjadi kewarganegaraan Prancis. Ia melakukannya demi bercerai dengan suaminya yang menikah menurut hukum Italia. Dimana italis tidak dikenal dengan perceraian pada saat itu.




[1] Wirjono Prodjodikoro, 58
[2] Bdgk. Wirjono Prodjodikoro. 58
[3] Keputusan M.A Austria 18-6-1907 s.d Kosters-Dubbink, 415
[4] Untuk pembahasan perkara ini, lihat juga buku Tafsiran Undang-undang Kewarganegaraan RI (1960) 126, 127; Mulder, 103.